Pemikiran politik modern di Indonesia pada dasarnya diawali dengan bangkitnya nasionalisme modern. Dimulai awal abad kedua puluh ketika sekelompok kecil orang-orang terpelajar mulai menyadari arti kemodernan dan tantangan bangsanya dimasa-masa yang akan datang (Rambe, 2003). Salah satu tanda adanya kesadaran obyektif terhadap kondisi sosial masyarakat dimulai ketika banyaknya orang-orang terpelajar berkenalan dengan pemikiran modern. Pada perkembangannya kelompok tersebut akhirnya menemukan kesadaran baru, yang selanjutnya melahirkan gerakan-gerakan perlawanan dengan menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai cita-cita politik.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tercapai berkat perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia tak dapat diragukan lagi nasionalisme sebagai konsep berbangsa dan bernegara sangat berperan dalam proses kemerdekaan bangsa ini. Banyak pejuang Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Supriyadi, Jenderal Sudirman, Tan Malaka, dan tokoh lainnya.
Tan Malaka adalah seorang pejuang dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Ia ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan keputusan Presiden RI no. 53 dan ditanda tangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 (Rahman, 2013). Dalam perjuangan panjang selama berpuluh tahun, Tan Malaka tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus pada tahun 1926/1927.
 Setelah kegagalan pemberontakan PKI, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok 1 Juni 1927. Tujuan PARI sebenarnya untuk mata rantai penghubung antara PKI sebelum 1926 dengan perjuangan fisik untuk kemerdekaan sekitar dua puluh tahun kemudian (Nasir, 2007). Tan Malaka juga menjalani masa pembuangan atau berada dalam pelarian politik yang begitu panjang.
Tan Malaka sempat membentuk Partai Murba yang tentu saja untuk kepentingan Indonesia.
 Namun saat bergerilya Tan Malaka ditembak mati dan disemayamkan di Desa Selopanggung, sebelah barat Kota Kediri. Tan Malaka merupakan salah satu sosok pahlawan yang benar-benar anti kolonial dan anti diplomasi. Inilah penyebab mengapa ia ABSTRACT
ARTICLE HISTORY The study critically examines the pivotal role of Tan Malaka in Indonesian political thought and nationalism from 1921 to 1949.Â
Investigating Tan Malaka's background and ideological evolution, the research addresses key questions: What influenced Tan Malaka's political trajectory during 1921-1949, and how did he conceptualize Indonesian nationalism? Employing historical methods, the study meticulously traces Tan Malaka's political journey, beginning with his foray into politics in 1921, association with the PKI, founding of PARI in 1927, and the articulation of the one hundred percent independence concept in 1946.
Additionally, it explores the establishment of the Murba Party in 1948, which reflected Tan Malaka's unwavering commitment to resisting colonial diplomacy. The study concludes in 1949 with Tan Malaka's demise, influenced by his call for armed resistance and refusal to negotiate. Despite governmental disapproval and rumors surrounding the Murba Republic, Tan Malaka's legacy endured, evoking widespread sympathy. His profound impact on Indonesian political thought and the nationalist movement persists as a testament to his unwavering dedication to the cause of independence.
Tan Malaka, figur utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, memainkan peran penting dalam membentuk lanskap politik. Meskipun mendirikan Partai Murba untuk memajukan kepentingan Indonesia, kegiatan gerilyanya membawanya pada akhir yang tragis, ditembak mati dan dikebumikan di Desa Selopanggung, sebelah barat Kota Kediri. Komitmen Tan Malaka yang teguh terhadap prinsip anti-kolonial dan anti-diplomasi mengategorikannya sebagai sosok kiri. Namun, nasionalismenya mengambil bentuk yang berbeda, mengadvokasi kemerdekaan yang komprehensif bagi bangsanya.
Selama kegiatan gerilyanya, Tan Malaka menjadi simbol perlawanan terhadap kekuatan asing, mencerminkan semangat mereka yang menentang kekuatan kolonial. Sikapnya yang menentang diplomasi dan komitmennya terhadap pencapaian kemerdekaan tanpa kompromi menarik baik pujian maupun kritik. Sementara beberapa memuji dedikasinya yang teguh pada tujuan, yang lain mempertanyakan kelayakan pendekatannya, mengingat kompleksitas lanskap geopolitik.
Warisan Tan Malaka meluas di luar upayanya dalam bidang politik, mencakup visi untuk Indonesia yang bebas dari pengaruh luar. Sentimen anti-kolonialnya sejalan dengan mereka yang mencari kedaulatan yang sejati, memberikan kontribusi pada mozaik beragam ideologi nasionalis dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Hidup dan matinya tetap menjadi lambang perjuangan bagi mereka yang dengan tegas menentang kekuatan kolonial, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah bangsa dan perbincangan yang berkelanjutan mengenai kompleksitas nasionalisme anti-kolonial.
Penulisan ini menggunakan metode historis atau metode sejarah. Metode historis merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data, membaca, mencatat serta mengolah bahan atau sumber yang digunakan dalam penelitian Metode historis memerlukan proses pengujian dan penganalisisan terhadap sumber atau bahan penulisan yang digunakan, kemudian merekonstruksi berdasarkan data dan fakta yang telah ditelaah, sehingga diperoleh bentuk historiografi. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penggunaan metode historis menurut Kuntowijoyo ialah: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (verifikasi), interpretasi, dan historiografi (penulisan sejarah) (Kuntowijoyo, 2005).