Tentu saja, dalam semua keterbatasan ini, kita harus tetap menjaga semangat. Minimal semangat pura-pura bahagia di Instagram. Foto kopi, kasih filter digital, dan caption, "Slowlife, grateful heart." Padahal baru habis pulsa dan ditolak pinjaman online. Tapi begitulah manusia -- makhluk yang bisa tertawa di tengah krisis, meski kadang tawanya mirip tangisan yang disensor.
Krisis ekonomi juga membuat kita lebih religius -- bukan karena tiba-tiba jadi saleh, tapi karena kita banyak berdoa. Berdoa waktu nunggu transferan, berdoa semoga token listrik cukup sampai besok, berdoa semoga bos gak marah walau kerjaan molor karena stres mikirin cicilan. Iman naik turun seperti grafik saham, tapi setidaknya kita ingat bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari bunga bank.
Dalam dunia yang makin keras ini, cinta juga ikut diuji. Bukan cinta ala drama Korea, tapi cinta realita. Cinta yang diuji bukan lewat pelukan di bawah hujan deras, tapi lewat diskusi tentang prioritas. Beli gas subsidi dulu atau bayar sekolah anak? Cinta yang muncul saat dua orang muda saling berbagi nasi warteg satu bungkus, dan tetap bilang, "Kita pasti bisa lewati ini bareng-bareng." Kalau itu bukan romantis, saya tidak tahu apa yang lebih romantis ketimbang berbagi orek tempe dkasih kecap.
Dan di balik semua kegetiran ini, ada pelajaran sarkastik yang bisa kita petik bahwa, sering kali yang duduk paling empuk justru yang paling sedikit merasakan dampaknya. Mereka membuat kebijakan dari balik kaca gedung tinggi, sementara rakyat menambal atap rumahnya yang bocor pakai spanduk bekas caleg yang tak terpilih. Mereka bicara tentang stimulus ekonomi, tapi kita belum bisa beli stimulus berupa gorengan tahu isi satu potong.
Krisis ekonomi ini juga semacam pemikiran ulang untuk sesuatu yang tidak realistis. Kita sadar bahwa selama ini, kita terlalu terlena dengan kenyamanan. Kita pikir gaji bulanan adalah jaminan masa depan. Kita pikir asuransi bisa menyelamatkan segalanya. Tapi ternyata tidak. Ternyata, hidup bisa berubah drastis hanya karena satu keputusan global yang bahkan tidak kamu tahu kapan dibuatnya. Dan di titik itu, kamu belajar merendah. Bukan karena ingin, tapi karena harus.
Tapi inilah keindahan dari suatu kehancuran. Ia memberi ruang untuk membangun ulang. Kita mulai menghitung ulang, memilah ulang, memulai ulang. Kita belajar bahwa tidak semua yang hilang itu buruk. Kadang, kehilangan membuat kita lebih hidup. Seperti tanaman yang harus dipangkas dulu agar tumbuh lebih kuat.
Maka jangan heran jika tiba-tiba banyak orang mulai bertani hidroponik, jualan kue kering, atau buka jasa desain undangan digital. Bukan karena mereka mendadak visioner, tapi karena hidup memaksa mereka jadi kreatif. Dan justru di situ muncul potensi-potensi baru. Karena seperti kata pepatah, manusia tidak tahu seberapa kuat dirinya, sampai dipaksa kuat.
Dan kalau krisis ini adalah ujian, maka humor adalah cara kita mencurangi soal-soalnya. Dengan tertawa, kita curi sedikit kebahagiaan dari kegilaan ini. Dengan bercanda, kita tunda sejenak ketakutan yang diam-diam menggigit dari belakang. Kita kumpul, ngopi, bahas betapa konyolnya nasib, dan dari situ kita merasa tidak sendirian.
Akhirnya, krisis ekonomi bukan hanya tentang uang. Ia adalah cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya. Ia menunjukkan siapa yang benar-benar peduli, siapa yang pura-pura, siapa yang berani bertahan, dan siapa yang hanya bisa berkoar di depan kamera. Ia membongkar semua lapisan kemewahan palsu, dan meninggalkan kita dengan esensi, bertahan hidup, saling bantu, dan tidak lupa tertawa meskipun usus sudah menggeliat karena lapar.
Jadi, bila nanti krisis datang lagi -- dan itu akan -- kita mungkin tidak lebih siap secara finansial. Dan pasti juga lebih kuat secara mental. Karena kita sudah pernah melewatinya, dan tahu rasanya. Dan kalaupun harus jatuh lagi, setidaknya kita jatuh dengan bergaya. Sambil melucu, sambil mencinta, sambil merenung dan sambil tetap mencari promo gratis ongkir.