Mohon tunggu...
Yoss Prabu
Yoss Prabu Mohon Tunggu... Novelis

Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang hobby menulis tapi tak pernah dipublikasikan. Aktivis teater, tapi jarang-jarang kumpul dengan insan teater. Agak aneh, memang. Ya, begitu. Biarkan saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Krisis Ekonomi: Sebuah Kisah Cinta yang Gagal

4 April 2025   19:54 Diperbarui: 6 April 2025   13:44 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya ilustrasi. (Gambar: AI). 

"Maaf, Pak. Kami tidak malas, kami hanya realistis. Kalau hidup ini semacam game, level kami sedang 'hard mode'." Mode sulit.

Lalu muncullah solusi dari para pemegang kuasa: "Ayo, kita galakkan UMKM." Padahal modal kita tinggal nekat plus sepiring nasi. Itu pun nyaris basi. Mereka bilang, "Krisis adalah peluang!" Oke, Pak, peluang untuk apa? Menjual ginjal?

Namun pada akhirnya, seperti kisah cinta yang pahit, krisis ekonomi menyisakan pelajaran. Ia membuat kita jadi lebih kuat. Atau lebih mahir akrab dengan pinjol. Pinjaman online. Ia membuat kita sadar bahwa bahagia tidak harus mahal -- cukup lancar beli pulsa listrik.

Jadi, apa itu krisis ekonomi?

Ia adalah kombinasi dari sinetron, novel filsafat, acara komedi, dan puisi patah hati. Yang disajikan dalam satu paket hemat tanpa garansi. Sebuah tragedi kolektif yang kita tertawakan bersama, karena kalau tidak ditertawakan, kita akan menangis terlalu keras dan takutnya tetangga mengira kita terkena PHK. Atau bertikai lagi dengan debt collector.

Dan seperti mantan yang -- sayangnya -- selalu punya kemungkinan kembali, krisis akan datang lagi. Kita cuma bisa siap-siap. Dengan humor, cinta, dan kopi sachet. Karena hidup tetap harus dijalani, meski dengan sisa saldo lima ribu rupiah dan semangat yang diutang. Namun jangan salah sangka, krisis ekonomi itu bukan hanya tentang uang. Ini tentang identitas, martabat, dan -- jika boleh sedikit dramatis -- eksistensi. Karena di masa krisis, kita mulai mempertanyakan segalanya. Bukan cuma harga beras, tapi juga harga diri.

Misalnya, dulu kamu adalah seorang profesional bergaji tetap. Sekarang kamu profesional juga -- profesional dalam menyiasati hidup dengan seratus ribu seminggu. Dulu kamu bangga bisa traktir teman, sekarang kamu pura-pura sibuk pas diajak nongkrong. Dulu kamu heran kenapa orang suka promo cashback. Sekarang kamu panik kalau cashback-nya belum masuk lima menit setelah bayar.

Tapi jangan khawatir, kamu tidak sendirian. Ini krisis nasional, bahkan kadang global. Jadi penderitaanmu ini bukan cuma milikmu sendiri. Kita semua sedang main dalam film yang sama. Genrenya tragikomedi, dengan sutradaranya entah siapa, dan skripnya berubah-ubah tergantung kebijakan terbaru.

Tiba-tiba harga BBM naik. "Untuk kestabilan ekonomi," begitu kata beliau yang tercinta.

Tapi entah ekonomi siapa yang stabil. Pasti bukan ekonomi tukang sayur dan penjual gorengan gerobak, yang harus mikir dua kali buat libur dulu sehari. Bukan juga mak-mak yang mulai mikir-mikir antara beli beras atau beli susu anak. Kita semua mendadak jadi ahli ekonomi dadakan. Tahu inflasi, tahu resesi, tahu depresiasi. Bahkan tahu kata "hedonis" setelah sempat viral gara-gara pejabat pamer kekayaan.

Dan dari semua itu, ada sisi filosofis yang menyentuh. Krisis membuat kita belajar bahwa manusia itu adaptif. Hari ini kamu menangisi dompet yang kosong, besok kamu jualan risoles online dengan caption. "Risoles cinta, isi harapan." Kamu jadi penyair, pemasar, dan kurir dalam satu tubuh. Apakah ini kebangkitan jiwa wirausahawan? Bisa jadi. Atau mungkin hanya bentuk kepanikan yang dibungkus kreativitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun