Mohon tunggu...
Lusia Gayatri Y
Lusia Gayatri Y Mohon Tunggu... -

pemerhati pendidikan anak. blog:lusiagayatriyosef.wordpress.com contact:ms.lusiagayatriyosef@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapa Bilang Menjadi Pemimpin Harus Sempurna?

6 Mei 2014   08:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Halo pembaca,

Apa kabar?

Semoga kita semua masih dalam semangat untuk membuat keadaan lebih baik dan semakin baik.

Pada kesempatan ini saya ingin membagikan pengalaman refleksi “Siapa Bilang Menjadi Pemimpin Harus Sempurna?” Seperti yang kita ketahui bersama, menjadi pemimpin = menjadi panutan = bersedia menjadi individu yang dicontoh/diikuti oleh sedikit hingga banyak orang dengan anekaragam usia dan suku atau dengan karakteristik individu lainnya. Sayangnya, pemimpin juga seorang manusia yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Rasa-rasanya sangatlah sulit untuk menemukan pemimpin yang sempurna 100% atau yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kita. Betul, tidak dapat dipungkiri terkadang kita berkata dalam hati atau terucap “…Anda kan, pemimpin, mengapa anda melakukan kesalahan?” atau “…Anda kan, pemimpin, mengapa anda tidak dapat menemukan solusi dari permasalahan ini?” Serta berbagai macam pertanyaan reflektif hingga intimidatif lainnya kepada pemimpin.

Satu hal sederhana yang perlu dimiliki oleh pemimpin saat memperoleh pernyataan reflektif hingga intimidatif kepada dirinya adalah keterampilan pemimpin untuk mau mengakui kepada dirinya sendiri “Ya, saya manusia, saya memiliki kelebihan dan kekurangan.” Setelah pemimpin dapat menerima pengalaman dirinya sebagai manusia, terutama perziarahan hidupnya di bumi ini maka ketika pengikut mengajukan perbedaan pendapat terhadap pemimpin, pemimpin dapat memiliki percaya diri memberikan jawaban atas perbedaan pendapat tersebut. Pemimpin dapat mengurangi kemungkinan ia berperilaku defensive (bertahan) pada hal-hal yang sebenarnya memang perlu ia perbaiki. Tentu apabila berperilaku  defensive (bertahan) pada hal-hal yang mendukung perkembangan kea rah yang lebih baik memang alangkah baiknya dimiliki oleh pemimpin.

Betul, tulisan saya saat ini sedang membawa kita semua untuk mengenal perlunya kesadaran diri pemimpin bahwa ia adalah seorang individu. Khususnya individu yang memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik inilah yang berdampak kepada respon individu terhadap kejadian-kejadian yang ia hadapi. Singkat kata, pemimpin perlu menyadari “Mengapa si X melakukan A sementara saya melakukan B?” atau sebaliknya “Mengapa si X melakukan B sementara saya melakukan A?” Dampak dari pemahaman ini akan membawa pemimpin memiliki rasa percaya diri saat ia duduk bersama dengan para pemimpin lain. Karena memang ini adalah suatu bentuk kenyataan bahwa perbedaan respon, perbedaan menentukan perilaku, cara pengambilan keputusan serta karakteristik individual lainnya pada individu satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Perbedaan tersebut juga membawa perbedaan hasil. Saya merasa hal tersebut merupakan proses alamiah dinamika pemimpin dan kepemimpinan.

Kemudian, apa dampaknya pengetahuan di atas kepada keterampilan memimpin?

Ketika seorang pemimpin memiliki rasa percaya diri terhadap dirinya maka ia akan dengan mudah untuk mengambangkan keterampilan memimpin. Mengapa? Karena ia sudah dapat menerima konsep manusia sebagai makhluk berkembang atau dengan kata lain ada sebuah pengakuan terhadap diri
“Ya, ada saat saya salah dan ada saat saya benar….”.  Dalam kesempatan ini, saya mengutip definisi manusia sebagai makhluk berkembang, maka manusia dapat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dari perkembangannya tersebut, baik perubahan pada segi kejasmaniannya maupun perubahan pada segi psikologisnya (Walgito, 1994). Sesuatu yang dahulu belum ada, menjadi ada, yang dahulu belum sempurna kemudian menjadi sempurna, demikian selanjutnya sebagai akibat adanya perkembangan pada diri manusia itu (Walgito, 1994).

Berdasarkan dari pemaparan di atas, saya merasa ketika kita merasa frustasi sebagai pemimpin, mungkin kita dapat bertanya kepada diri sendiri “Apakah betul saya sudah menghayati sisi kemanusiaan saya, terutama konsep manusia sebagai makhluk yang berkembang?”

Baiklah, para pembaca, menjadi pemimpin merupakan amanah juga suatu pengalaman hidup atau perziarahan hidup. Mudah-mudahan, saat kita menjadi pemimpin dimanapun kita berada, apapun yang sedang kita lakukan dan siapapun yang sedang kita pimpin, kita masih memegang nilai-nilai kemanusiaan bahwa manusia adalah makhluk yang berkembang. Sehingga, harapannya, semangat selalu menyertai hati kita saat beribadah menjadi pemimpin.

Salam hangat & Salam sukses selalu!

Semoga semangat menjadi lebih baik selalu menyertai hati kita dimanapun dan apapun yang sedang kita lakukan. Pada akhirnya, masa depan sudah menunggu untuk diisi kejadian-kejadian yang baik dan semakin lebih baik.

Daftar Pustaka:

Walgito, B. (1994). Psikologi sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun