Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pelajaran dari TV One

18 April 2017   00:29 Diperbarui: 18 April 2017   00:36 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saat pertama kali mengudara, dengan nama TV One, pada tahun 2008, saluran televisi terrestrial (non-berbayar) ini, sempat memberi dimensi baru, pada pertelevisian nasional. Karena, mereka fokus seutuhnya, pada berita, dan olahraga. Kadang, mereka juga menayangkan program dokumenter tentang sejarah, baik sejarah nasional maupun dunia. Selain itu, mereka juga sempat mempunyai program, yang mewadahi musisi indie tanah air. Jenis program tayangan mereka sebetulnya mirip, dengan Metro TV (mengudara, sejak tahun 2000), dan Kompas TV (mengudara sejak tahun 2011). Tapi, dengan sudut pandang pemberitaan yang agak berbeda.

Saluran televisi ini, juga menjadi pionir inovasi, pada program tentang hukum, yang selama ini sebatas identik dengan berita kasus kriminal. Inovasi ini diwujudkan, pada program "Jakarta Lawyers Club", yang lalu menjadi "Indonesia Lawyers Club", sebuah program diskusi hukum, yang sebetulnya cukup edukatif bagi masyarakat luas.

Awalnya, kelebihan-kelebihan ini, membuat mereka cukup disukai masyarakat. Tapi, rasa ketidaksukaan mulai muncul, saat mulai muncul sejumlah pemberitaan yang kurang berimbang, seperti pada kasus Lumpur Lapindo, dan konflik PSSI-KPSI. 'Ketidakseimbangan' itu makin tampak jelas, saat Pemilihan Presiden 2014 silam. Keberpihakan mereka, pada salah satu pasangan peserta Pilpres, terlihat begitu nyata, bahkan terkesan vulgar. Saking mendukungnya, mereka sampai "berani beda", dengan memberitakan hasil hitung cepat, yang lain dari yang lain.

Ketika hasil akhir resminya keluar, mereka justru menuai citra negatif, di mata publik. Di sini, mereka justru membuat blunder fatal, dengan menjadi "media oposisi", yang hobi mengkritik kebijakan pemerintah, tanpa arah, ataupun bentuk masukan yang jelas. Padahal, jika bentuk kritik mereka, lebih tertata dan terarah, itu akan sangat bermanfaat. Toh, pemerintah tentu sangat terbuka dengan kritik-saran, khususnya yang sifatnya membangun. Akibatnya, citra mereka di mata publik makin buruk. Pada saat yang sama, sudut pandang asli mereka, juga makin terlihat jelas.

Pada saat kritis ini, mereka justru membuat blunder fatal berikutnya, yakni dengan menayangkan diskusi hukum bertema sensitif, yakni mengenai kasus dugaan penistaan agama, yang diduga dilakukan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, pada 21 Oktober 2016 silam. Tayangan ini, lalu menuai peringatan, dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peringatan ini, lalu direspon TV One, dengan 'meliburkan' salah satu program andalannya itu, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Rangkaian blunder ini, justru membuat mereka lesu darah. Libur panjangnya sang program andalan, ditambah image negatif, yang sulit lepas, membuat rating mereka anjlok. Bagi sebuah saluran TV terrestrial, anjloknya rating menjadi sebuah tanda bahaya. Karena, sumber pemasukan terbesar mereka, berasal dari banyak-sedikitnya varian iklan yang masuk. Banyak-sedikitnya varian iklan itu sendiri, ditentukan dari tinggi-rendahnya rating suatu acara, atau saluran televisi. Jika situasi terus memburuk, tanpa ada tindakan kongkrit, gulung tikar hanya tinggal soal waktu.

Menyadari situasi bahaya ini, TV One lalu membuat kejutan, dengan menayangkan lima judul drama (jika tak ingin disebut sinetron) Turki, sejak Sabtu (15/4) lalu. Program jenis ini, memang berpotensi mendulang rating tinggi. Karena, cukup digemari masyarakat.

Dari sudut pandang "survival theory", langkah kejutan TV One ini memang tepat. Dengan cara ini, mereka dapat menambah rating, dan pemasukan dengan cepat, agar tetap eksis. Dari sisi strategis, ini menjadi upaya perbaikan citra yang cukup drastis, dengan memperhatikan karakteristik pasar penonton televisi kita pada umumnya.

Tapi, pada saat yang sama, langkah ini menjadi sebuah ironi. Mereka rela mengorbankan identitas utama mereka, demi tetap eksis. Sikap pragmatis mereka saat ini, jelas berlawanan, dengan idealisme mereka selama ini. Anehnya, mereka seperti tidak punya alternatif program lain untuk ditayangkan secepatnya. Padahal, masih ada stand up comedy, atau program-program ringan, macam talkshow, yang cukup bermanfaat, tanpa perlu mengubah identitas asli mereka.

Apa yang dialami TV One ini, menjadi bukti kesekian, betapa hebatnya pengaruh rating, di dunia pertelevisian kita. Bagi sebuah televisi berita, daya tarik, objektivitas, dan faktualitas berita, memang krusial. Tapi, itu saja tak cukup, kreativitas, dan konsistensi pada komitmen, juga harus selalu ada. Supaya dapat tetap eksis, tanpa harus mengorbankan identitas utamanya. Karena, identitas utama, adalah tujuan hidup sebuah media.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun