Pada prosesnya, Jay Idzes dkk memang menang 1-0 atas Bahrain dan Tiongkok. Tapi, gaya main tim cenderung pragmatis.
Jadi, ketika ide taktik 4-3-3 ala Patrick Kluivert kembali dipaksakan, hasilnya tetap jeblok. Sekalipun hanya kalah tipis dari Irak dan Arab Saudi, kecerobohan PSSI ini benar-benar bencana.
Apalagi, gol-gol yang dicetak lawan umumnya berawal dari blunder pemain sendiri. Rasanya, mimpi ke Piala Dunia sirna, karena dijual sebegitu murah.
Dengan ruang ikhlas yang sejak awal tahun 2025 sudah dirusak, kata maaf yang terucap dari PSSI seperti menabur garam di atas luka tusuk, yang seharusnya hanya berupa luka lecet ringan.
PSSI, seperti biasa, membonceng animo publik sepak bola nasional, dan dengan entengnya menyalakan takdir. Padahal, merekalah yang paling merusak.
Hanya orang mabuk saja yang mengganti orang dengan pengalaman bermain dan menjadi pelatih kepala di Piala Dunia, dengan sosok yang minim pengalaman sebagai pelatih kepala. Dan, PSSI sudah melakukan itu dengan wajah tanpa dosa.
Mungkin, waktu bisa membantu publik sepak bola nasional melangkah ke depan. Tapi butuh waktu untuk pulih dari rasa sakit dan kekecewaan pada momen krusial, dan itu semua terjadi, karena ruang ikhlas yang sudah dibuat rusak, tapi dipaksa ada.
Di sisi lain, kegagalan Timnas Indonesia di Arab Saudi seharusnya jadi pelajaran berharga. Nasionalisme, lewat dukungan ke tim nasional tidak harus diekspresikan lewat animo sangat tinggi, karena rawan dibonceng pihak tak bertanggung jawab.
Fenomena ini sudah lama ada dan perlu dikikis. Jika tidak kita hanya akan bisa melihat Indonesia bermain di Piala Dunia hanya dalam mimpi dan video game, bukan dunia nyata.
Bisa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI