"Sisakan ruang ikhlas".
Inilah satu narasi yang muncul soal kiprah Timnas Indonesia, di babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Sejak sebelum dimulai, narasi ini seperti dipaksa ada, dan saat semuanya berakhir dengan hasil gagal total, tiga kata ini seperti mantra pemantik emosi (setidaknya sebagian) publik sepak bola nasional.
Seperti diketahui, Indonesia meraih sepasang kekalahan di babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, masing-masing 2-3 atas Arab Saudi, dan 0-1 dari Irak. Hasil ini sekaligus menutup peluang lolos ke Piala Dunia 2026.
Sebenarnya, di balik kekecewaan dan emosi yang tumpah, masih ada ruang ikhlas, karena (setidaknya sebagian) suporter Tim Garuda sejak awal sudah menyadari, bahkan sejak lolos ke babak ketiga.
Ini adalah langkah terjauh di Kualifikasi Piala Dunia (setidaknya di era modern). Dengan tim sudah pasti lolos ke Piala Asia 2027, lolos ke Piala Dunia 2026 adalah bonus yang tidak wajib dikejar. Dapat yang syukur, tidak dapat ya sudah.
Dengan perjalanan yang bahkan dimulai dari babak pertama bersama Shin Tae-yong, andai hasil serupa (dua kekalahan) didapat di babak keempat, atau bahkan terhenti di babak ketiga pun, rasanya publik sepak bola nasional masih kompak menerima tanpa rasa marah.
Tapi, penerimaan ini hanya akan terjadi, jika Shin Tae-yong tidak dipecat. Sederhananya, perjalanan dimulai dan diakhiri nahkoda yang sama. Masalahnya, keputusan ceroboh PSSI sendirilah yang membuat ruang ikhlas itu rusak.
Seperti diketahui, PSSI memecat Shin Tae-yong di awal tahun 2025, dengan dalih kegagalan di Piala AFF, padahal tim baru saja mencatat kemenangan 2-0 atas Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Sebagai gantinya, Patrick Kluivert didatangkan, lengkap dengan gerbong tim kepelatihan dari Belanda. Meski menghadirkan satu modernitas di sini, ide gaya bermain menyerang yang digembar-gemborkan justru kontraproduktif.
Secara performa, kekalahan 1-5 dari Australia dan 0-6 dari Jepang menggambarkan kekacauan itu dengan sangat jujur. Tim ini tidak siap menerapkan gaya main ala Belanda, karena sejak awal tidak dirancang untuk itu.