Dalam sepak bola, sebelum musim kompetisi berjalan, kebanyakan klub biasa mengadakan persiapan pramusim. Bentuknya pun beragam, mulai dari pemusatan latihan, pertandingan ujicoba tertutup, sampai tur ke luar negeri.
Tujuan umumnya adalah untuk mempersiapkan tim secara fisik dan taktis. Di era kekinian, masa persiapan pramusim juga biasa jadi ajang mengeruk pemasukan dari segi komersial.
Bagi sebuah tim, masa pramusim biasa jadi ajang eksperimen taktik dan adaptasi pemain baru. Otomatis, hasil akhir satu pertandingan bukan hal penting. Progres persiapan tim dan pemainlah yang jadi perhatian utama.
Maklum, para pemain baru saja menjalani libur kompetisi cukup panjang. Untuk bisa cukup bugar secara fisik dan siap menjalani musim kompetisi baru, mereka perlu persiapan khusus. Di sinilah fungsi masa pramusim menjadi krusial,
Jadi, tidak aneh jika suasana selama masa pramusim terlihat santai. Tidak ada tekanan tinggi untuk menang.
Sangat jarang pelatih dipecat di periode ini, kecuali ada kejadian luar biasa. Begitu juga dengan cedera pemain, khususnya pada kasus cedera parah.
Di sinilah ruang untuk eksperimen taktik, Â dan membangun kebugaran fisik menjadi sesuatu yang lebih penting. Kebetulan, laga pramusim juga bersifat tidak resmi.
Maka, ketika ada pandangan terlalu serius pada laga pramusim, ini adalah satu salah kaprah yang cukup membingungkan. Bagaimana bisa, laga tak resmi diperlakukan bak laga final Liga Champions?
Salah kaprah ini adalah satu fenomena umum, yang masih terjadi di sepak bola modern, khususnya di era media sosial. Meski belum terlalu parah, fenomena ini kadang muncul, dan ikut memengaruhi cara pandang sebagian klub dan suporter.
Sebagai contoh, di sepak bola nasional, permainan keras menjurus kasar kadang membuat pertandingan pramusim terasa aneh.