Jelang dimulainya musim 2025-2026, Liga Indonesia kedatangan dua pemain diaspora, yakni Rafael Struick dan Jens Raven, yang masing-masing berlabuh di Dewa United dan Bali United.
Keputusan kedua pemain blasteran Indonesia-Belanda ini cukup mengejutkan di satu sisi, karena usia mereka masih relatif terlalu muda untuk mencicipi kompetisi di Indonesia. Per 2025, Struick berumur 22 tahun, sementara Raven 20 tahun.
Dengan latar belakang mereka sebagai pemain hasil binaan Belanda, mereka seharusnya masih bisa bermain di Eropa, seperti Nathan Tjoe-A-On yang dikontrak Lyngby Boldklub (klub kasta kedua Liga Denmark) atau mencoba bermain di Asia, seperti Shayne Pattynama, yang dikontrak Buriram United, tim raksasa Liga Thailand.
Tapi, jika melihat lagi level liga maupun klub Raven dan Struick (sebelum akhirnya mendarat di Indonesia) keputusan mereka tidak mengejutkan.
Raven lebih banyak bermain di level kelompok umur, dengan FC Dordrecht (klub kasta kedua Liga Belanda) sebagai klub terakhir. Struick sebelumnya juga bukan pemain inti di ADO Den Haag (klub kasta kedua Liga Belanda).
Boleh dibilang, rekam jejak dua pemain diaspora Indonesia ini belum cukup solid, untuk bisa tetap bermain di Eropa. Posisi mereka juga tidak dianggap sebagai pemain lokal, karena status WNI membuat mereka terhitung sebagai pemain non Uni Eropa.
Kalaupun mencoba peruntungan di Asia, kesempatan bermainnya serba tidak pasti. Rafael Struick sudah membuktikannya, dalam kiprah singkat yang cukup sulit bersama Brisbane Roar (Australia).
Situasi ini berbeda dengan Nathan Tjoe-A-On, yang pernah memperkuat tim Eredivisie Belanda dan kasta kedua Liga Inggris, atau Kevin Diks bahkan bersiap mencicipi kerasnya Bundesliga Jerman bersama Gladbach, berkat penampilan konsisten dan aneka prestasi bersama FC Copenhagen (Denmark).
Pada situasi Jens Raven dan Rafael Struick, keduanya sama-sama belum punya posisi tawar yang cukup kuat. Mereka bahkan belum cukup stabil dalam hal menit bermain, karena kesempatan yang terbatas.
Maka, ketika ada kesempatan dari Indonesia, ini adalah satu pilihan logis. Apalagi, Bali United dan Dewa United sama-sama punya fasilitas modern, manajemen profesional, dan ditangani pelatih asal Belanda.
Situasi ini menjadi gambaran sekaligus risiko umum buat pemain diaspora Indonesia, khususnya mereka yang menjadi WNI dalam posisi masih merintis karier bermain atau belum cukup stabil di klub.
Di satu sisi, pemain-pemain diaspora Indonesia seusia Rafael Struick dan Jens Raven bisa membantu penguatan tim di level kelompok umur. Jika semuanya berjalan lancar, mereka juga bisa menjadi tambahan amunisi lini depan di tim senior.
Ada harapan jangka panjang di sini, mengingat usia dan performa mereka di level junior, tapi harapan itu harus dibayar dengan rumitnya kesempatan bermain, khususnya jika tetap di Eropa. Ini sudah terjadi sejak era Irfan Bachdim sampai Ezra Walian.
Praktis, kita tinggal berharap, Rafa dan Raven tetap bisa berkembang di Liga Indonesia, supaya mereka tetap bisa diandalkan Timnas Indonesia di masa depan.
Pepatah mengatakan, nasi sudah menjadi bubur. Maka, berhubung nasi sudah menjadi bubur, saatnya meracik bubur ayam yang lezat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI