Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta, Gelanggang Mimpi dan Pertaruhan Nasib

4 April 2024   23:18 Diperbarui: 7 April 2024   11:17 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Arus balik pemudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Jumat (30/6/2017).(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Bicara soal fenomena urbanisasi ke Jakarta (khususnya setelah lebaran) sebenarnya sudah menjadi satu rutinitas. Sebenarnya, urbanisasi di Jakarta tidak hanya terjadi saat lebaran, tapi sepanjang tahun.

Hanya saja, volumenya memang tidak terlihat mencolok seperti saat arus balik. Secara umum, pelaku urbanisasi ini berasal dari mereka yang mencari pekerjaan atau memang mendapat pekerjaan di Jakarta.

Sebagai orang yang pernah melakukan urbanisasi ke Jakarta karena mendapat pekerjaan di sana, saya sendiri merasa fenomena ini wajar, karena diluar urusan upah, Jakarta masih punya nilai lebih, khususnya dalam hal membangun relasi dan pengalaman kerja.

Terlepas dari lingkungan dan budaya kerja yang kadang absurd, punya pengalaman kerja di Jakarta bisa menjadi keuntungan tersendiri, setidaknya secara psikologis, misalnya ketika kembali ke daerah asal atau ada momen temu keluarga seperti saat lebaran.

Dengan punya pengalaman kerja di Jakarta, setidaknya kita tidak langsung dianggap remeh, karena sudah pernah ditempa, dan mampu bertahan sampai akhir di sana. Ibarat kompetisi sepak bola, bekerja di Jakarta seperti bermain di Liga Inggris: kompetisi yang keras, bertempo tinggi dan taktis.


(Kompas.com)
(Kompas.com)

Secara pribadi, saya sendiri termasuk orang yang tidak menutup kesempatan merantau lagi ke Jakarta, karena sisi realistis di sana sangat jujur. Tak ada romantisasi berlebihan, apalagi sampai mengaburkan realita, menciptakan sikap "denial" atau baper.

Kalau jelek berani bilang jelek, begitupun sebaliknya. Disadari atau tidak, sisi realistis inilah yang mampu membuat orang paling penakut sekalipun jadi punya (setidaknya sedikit) keberanian, karena mendapat kebebasan menjadi diri sendiri.

Banyak orang bilang, Jakarta itu keras, tapi sepanjang kita datang ke sana dalam posisi sudah punya pekerjaan atau penghasilan tetap di sana, sisi keras itu bukan sesuatu yang mengerikan, tapi ini adalah satu sisi jujur, karena sifatnya memang serba realistis.

Ada tujuan yang ingin dicapai dari apa yang dikerjakan, dan bekerja menjadi satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Soal "me time" atau kegiatan lain di luar pekerjaan, itu sudah pasti terasa lebih nikmat, jika dilakukan selepas bekerja atau saat libur, misalnya di akhir pekan.

Libur akhir pekan Sabtu-Minggu ala Jakarta sendiri menjadi nilai plus lain, karena durasinya yang mencapai dua hari. Durasi ini masih belum termasuk hari libur nasional, Lebaran, Natal dan tahun baru.

Di daerah lain, lima hari kerja per minggu masih belum sepenuhnya membudaya, bahkan ada yang tidak kenal hari libur atau tanggal merah, kecuali pada periode Lebaran, Natal atau tahun baru.

Pada kasus yang agak ekstrem, ada juga perusahaan atau badan usaha yang masih menjalankan praktik kuno yang tidak perlu, seperti menahan ijazah pendidikan terakhir pekerja.

Selebihnya, dengan memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap, semua kebutuhan hidup bisa dipenuhi, lengkap dengan tabungan rutin. Sepanjang tidak bergaya hidup sangat konsumtif, semua akan baik-baik saja. Soal relasi dan pengalaman, itu akan tumbuh seiring waktu.

Sebaliknya, sisi keras Jakarta justru akan sangat terlihat dan terasa, ketika seseorang datang sebagai pencari kerja. Sekalipun tinggal di tempat sohib atau saudara, tetap ada satu tekanan untuk mendapat pekerjaan secepat mungkin.

Semakin cepat mendapat pekerjaan, terutama kalau itu pekerjaan tetap, semakin baik. Selain karena bisa mandiri, mendapat pekerjaan tetap biasanya sudah cukup ampuh, untuk membungkam segala macam omongan nyinyir.

Masalahnya, situasi akan jadi runyam kalau masa mencari kerja itu (ternyata) malah berlarut-larut. Sudah begitu, kebutuhan sehari-hari tak bisa ditunda.

Dengan modal dana yang sudah pasti terbatas, tidak kunjung punya pekerjaan tetap, atau minimal kerja kontrak, akan terasa menyeramkan. Sehebat apapun jurus berhemat yang dikeluarkan, tetap saja ada batasnya.

Apalagi, kalau omongan nyinyir di sekitar mulai meracuni pikiran dan lingkungan. Apapun yang dilakukan pasti selalu terlihat salah.

Memang, ada banyak cerita sukses dari pelaku urbanisasi ke Jakarta, yang awalnya datang sebagai pencari kerja, sekalipun hanya sendiri. Masalahnya, orang yang gagal total atau jadi pesakitan dari kelompok ini juga tak kalah banyak, bahkan ada yang nekat bertindak kriminal demi memenuhi kebutuhan hidup.

Ibarat dua sisi mata uang, Jakarta masih menjadi satu tempat mengejar mimpi perbaikan taraf hidup dan membangun karier, sekaligus menjadi tempat pertaruhan nasib, terutama bagi mereka yang datang dengan modal seadanya.

Realita kompleks ini antara lain terangkum dalam lagu "Jakarta", yang dibawakan Trio Laleilmanino bersama Diskoria berikut ini:


Meski kotanya sudah begitu padat, macet, berpolusi tinggi dan sering banjir, daya tarik itu tetap kuat. Besaran upah yang cukup relevan dengan harga kebutuhan pokok (selama tidak hedonis dan konsumtif) masih memberi cukup ruang untuk (minimal) sedikit menabung secara rutin.

Karakteristik upah yang bisa ditabung ini menjadi satu nilai plus, karena di daerah-daerah dengan angka UMR rendah, ruang untuk menabung nyaris tak ada, bahkan minus, kecuali jika masih tinggal dengan orang tua, atau punya kerja sampingan.

Disadari atau tidak, posisi Jakarta sebagai tempat tujuan kerja juga menunjukkan, seberapa besar masalah ketimpangan ekonomi yang ada, antara Jakarta dan daerah asal para pelaku urbanisasi.

Disaat inflasi dan kenaikan harga rutin terjadi, besaran UMR di berbagai daerah memang ikut naik secara berkala, tapi ada yang "pertambahan argo" nya lambat sekali, pun angkanya tidak relevan dengan perubahan nilai uang dan harga-harga kebutuhan secara umum.

Ketimpangan inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor kunci, yang mendorong "langgengnya" urbanisasi ke Jakarta. Padahal, kalau tidak timpang, urbanisasi (setidaknya) tak akan sebesar yang biasa kita lihat.

Inilah satu PR besar pemerintah, yang untuk saat ini masih belum beres. Selama tingkat ketimpangan upah antara Jakarta dan daerah lain masih belum juga mampu diatasi, sekalipun status Jakarta bukan lagi ibu kota negara, rasanya fenomena urbanisasi ke Jakarta akan jadi satu fenomena "abadi" di Indonesia, seperti halnya proyek "abadi" perbaikan jalan di Jalur Pantura Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun