Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengurai Sisi Absurd Syarat Lowongan Kerja di Indonesia

15 Maret 2024   15:19 Diperbarui: 15 Maret 2024   15:28 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kerja, kerja, kerja. "

Begitulah satu slogan yang (setidaknya pernah) mewarnai negeri ini, dan memang jadi satu hal yang diupayakan betul, demi sebutir beras dan sebongkah berlian.

Punya pekerjaan. apalagi kalau itu tetap dan punya kesempatan besar naik pangkat, juga bisa menjadi satu kebanggaan tersendiri. Walau gaji masih konsisten terengah-engah akibat dikejar cicilan, laju inflasi dan kenaikan harga, setidaknya ada satu pegangan yang masih bisa diandalkan.

Diluar unsur kompetisi sampai hal-hal "diluar nurul" yang kadang ikut mengelilinginya, dunia satu ini punya satu keajaiban yang sangat absurd sejak di titik awal, yakni syarat yang serumit isi sesajen untuk makhluk gaib.

Ada batasan umur yang agak ekstrem (umumnya antara 23-25 tahun), skor IPK atau TOEFL istimewa (kalau bisa sempurna), belum menikah, fresh graduate boleh mendaftar, dan berpengalaman kerja di bidangnya (minimal 1-2 tahun).

Syarat seperti ini memang biasa jadi acuan standar, tapi kurang relevan dengan keadaan. Diluar mereka yang ekselen, ada begitu banyak yang harus berdarah-darah hanya untuk bisa lulus studi.

Ada juga yang pada prosesnya dipersulit, antara lain dengan alasan "supaya lebih terlatih", tapi malah tak punya kesempatan bersaing secara layak, hanya karena dianggap kurang ekselen atau terlalu tua.

Apesnya, itu baru syarat administrasi awal menuju tahap tes berlapis yang menuntut skor dan kepribadian sempurna. Kadang, kriterianya masih ditambah "serba bisa, dan mampu bekerja dalam tekanan tinggi".

Syarat yang sempurna, dan mungkin akan lebih sempurna jika ditambah kriteria "serba guna, kedap air, tahan api, antipeluru, antivirus, antipecah dan antigores".

Sebuah syarat yang bisa membuat malaikat sekalipun merasa minder, saking sempurnanya tuntutan kriteria yang diminta. Pertanyaannya, apakah tenaga kerja yang dicari ini "manusia setengah dewa", avatar, atau makhluk mitologi?

Dengan tuntutan spek seperti ini, wajar kalau kritik soal pekerja yang kurang dimanusiakan masih ada. Syarat speknya saja sudah seperti apotek tutup, bukan kelas "manusia biasa".

Dari segi batas umur saja, syarat ini sudah ketinggalan zaman. Di umur 26 tahun  keatas, apalagi jika berstatus sudah menikah dan punya anak, apakah seseorang sudah terlalu jompo untuk bekerja? Apakah mereka hanya hidup dengan menghirup udara secara gratis? Apakah manusia diatas umur 25 tahun sudah setara dengan artefak zaman purba?

Apa kabar dengan pencari kerja yang dulunya korban PHK? Apa kabar juga pencari kerja berkebutuhan khusus, yang biasa kena verboden syarat "sehat jasmani dan rohani"?

Lupakan dulu soal studi lanjut, karena jika seorang lulusan master ingin mendaftar kerja, syarat batasan umur (umumnya 28-30 tahun) buat "fresh graduate" sudah mengintai bak sniper handal.

Perusahaan atau lembaga pemberi kerja boleh saja berpendapat, ini adalah satu strategi untuk rencana jangka panjang, tapi dinamika dunia kerja era kekinian sama sekali berbeda dengan 30-40 tahun lalu.

Tak lagi banyak orang yang bisa betah di satu tempat kerja sampai pensiun, seiring berkembangnya sikap kritis, juga makin terbukanya kesempatan untuk naik level dan memperluas jejaring.

Beda generasi, beda sudut pandang. Inilah yang masih belum sepenuhnya diterima, karena gap generasi dan budaya yang ada masih terlalu lebar.

Soal pengalaman, sebenarnya ini bisa didapat dari pengalaman kerja lepas maupun magang, tapi jenis pengalaman ini kadang masih diremehkan, karena tidak terlihat pasti.

Kerja lepas alias freelance kadang baru dianggap satu pekerjaan, jika sudah mampu menghasilkan banyak uang, tapi untuk sampai kesana, ada begitu banyak yang harus dikorbankan. Ada rasa cemas, stres, nyinyiran tetangga, dan entah apa lagi.

Banyak orang menghilang dan menghina di fase sulit ini, tapi akan berlomba menjadi "si paling berjasa" saat sudah sukses. Konyol sekali.

Dengan inflasi dan kenaikan harga yang melaju seperti kereta cepat, sikap rasional dan realistis memang layak dikedepankan. Apalagi, seiring hadirnya Omnibus Law di Indonesia,  kerja dengan kontrak jangka pendek (6 bulan atau kurang) telah menjadi sebuah tren, yang mau tak mau membuat seseorang harus siap jadi kutu loncat saat dibutuhkan.

Bukan berarti matre atau serakah. Ini hanya sebentuk adaptasi, karena kenaikan harga kebutuhan pokok, pajak dan kawan-kawannya kadang tak diikuti juga dengan kenaikan upah yang layak. Malah, kadang ada perusahaan yang tega memotong gaji dengan alasan-alasan seperti krisis keuangan atau penghematan, disaat para petingginya justru asyik bersenang-senang.

Terlalu banyak ketidakpastian yang ada, dan itu sangat tidak relevan dengan loyalitas. Tidak ada perusahaan atau lembaga yang akan sangat meratapi kepergian personelnya, karena calon penggantinya masih melimpah di luar sana.

Kalau situasi besar pasak daripada tiang terus dibiasakan, ini adalah sebentuk pemiskinan sistematis. Salah satu fungsi dasar gaji adalah untuk ditabung, bukan membuat saldo minus tiap bulan.

Dengan absurditas seperti ini, normal kalau segalanya terkesan kacau, dan bisa semakin kacau jika gaya hidup sudah terlanjur konsumtif. Dari titik syarat awalnya saja sudah absurd, apalagi yang lain.

Maka, wajar jika warganet Indonesia kompak mendukung, saat Leonardo Olefins Hamonangan, seorang sarjana hukum asal Bekasi, menggugat ke Mahkamah Konstitusi soal syarat absurd rekrutmen tenaga kerja, pada awal bulan Maret 2024.

Langkah ini diambil, karena syarat rekrutmen tenaga kerja yang banyak digunakan terkesan mewajarkan praktek diskriminasi dari segi usia (ageism) dan rancu.

Diselingi banyak pujian, ditambah bumbu sindiran untuk Mahkamah Konstitusi (kebanyakan soal kontroversi seputar Pemilu 2024) dan pemberi kerja, langkah gugatan uji materi terhadap pasal 35 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini pelan-pelan viral di media sosial.

Selain diberitakan di media mainstream, langkah ini juga diangkat Menparekraf Sandiaga Uno, dalam unggahan di akun Instagramnya, Senin (11/4) lalu, dengan menampilkan momen diskusi saat kunjungan kerja ke Australia.


Ternyata, praktek pembatasan usia ini tidak diterapkan di Australia (dan negara-negara maju pada umumnya). Selama mampu bekerja dengan baik (seharusnya) kesempatan kerja itu layak didapat.

Inilah kekurangan yang masih menjadi PR di Indonesia, dan menjadi satu penyebab, mengapa negara ini masih agak tertinggal jauh dengan negara maju.

Meski terdengar biasa, menjadi pekerja tetap alias pegawai masih jadi mimpi realistis banyak orang. Tidak muluk, tapi justru terlihat begitu sulit, karena narasi soal menjadi pengusaha atau punya usaha sendiri terlanjur diangkat tinggi.

Padahal, tidak ada yang salah dari mimpi menjadi "orang biasa" yang hidup secara biasa. Tidak ada sebutan orang istimewa, selama tak ada mereka yang rela disebut orang biasa.

Menjadi biasa saja mungkin terlihat kurang wah, tapi akan terasa sangat menyenangkan, karena semua bisa berjalan apa adanya: tidak ada sorotan berlebih, tidak ada terlalu banyak drama, dan semua bisa berakhir dengan tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun