Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menabung, Lain Dulu Lain Sekarang

16 September 2022   15:42 Diperbarui: 20 September 2022   12:00 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bunga tabungan (sumber: pixabay.com/geralt)

Bicara soal memabung, satu hal yang saya ingat darinya semasa kecil adalah iming-iming "kalau menabung, akan dapat bunga tiap bulan".

Kalau melihat dinamika saat itu, mungkin iming-iming itu relevan, tapi dalam konteks kekinian, itu terdengar seperti omong kosong.

Maklum, beberapa bank di Indonesia menetapkan suku bunga tabungan bisa mencapai 0 persen per tahun. Meski sifatnya opsional, tentu ini akan lumayan mengubah persepsi yang ada, termasuk minat masyarakat menabung di bank.

Tapi, jujur saja, bagi saya pribadi, kebijakan Bunga 0 Persen ini tak banyak berpengaruh buat dua rekening yang saya punya. Kedua rekening ini saya buka karena dua alasan berbeda.

Rekening pertama saya buka medio tahun 2011, atau tak lama setelah lulus SMA. Penyebabnya, saat itu saya mendapat hadiah 1 juta rupiah dari paman saya.

Dalam perjalanannya, uang itu masih sisa sekitar 600 ribu rupiah, setelah dibelanjakan untuk keperluan kelulusan sekolah, beli buku, hangout dan nonton film.

Karena bingung, saya lalu memutuskan menabung uang itu di bank, dalam sebuah rekening tabunngan biasa tanpa kartu debit. Bunganya minimalis dengan potongan pajak, tanpa kartu atau biaya admin.

Rekening ini sendiri baru saya upgrade ke rekening dengan akses ke layanan digital sekitar tahun 2019, tepatnya saat saya bekerja di Jakarta. Alhasil, ada potongan biaya admin rutin belasan ribu rupiah yang mampir tiap bulan.

Kalau mengingat fungsi dan manfaatnya,  biaya admin ini cukup bisa diterima, karena saya bisa melakukan transfer lewat aplikasi di ponsel atau menarik dana tunai di ATM.

Kemudahan ini membuat saya leluasa membayar kebutuhan rutin, termasuk sewa kost, sekalipun situasinya kurang kondusif. Entah karena ketegangan di masa pemilu, banjir di musim hujan, atau PSBB di awal masa pandemi.

Sekembalinya dari Jakarta pun, rekening ini sekali lagi hanya saya pandang dari segi fungsi, yakni sebagai tempat tujuan saat upah dibayar dan disimpan, atau membayar belanja pribadi.

Soal bunga, saya tidak terlalu peduli. Jumlahnya tidak sebanding dengan biaya admin rekening dan kartu debit. Selama tidak ada pemasukan, atau tidak ada bunga, jumlahnya tetap minus.

Sementara itu, rekening tabungan yang satunya saya buka tahun 2021 lalu, karena memang diwajibkan oleh tempat magang saya saat itu. Rekening ini jadi tempat menerima upah, sekaligus untuk keperluan transfer keluar masuk. Tidak ada bunga, tapi tetap ada biaya admin.

Di satu sisi, ini agak menjengkelkan, karena sebagai pekerja serabutan yang angka pemasukannya tidak menentu, saya jadi punya beban rutin bulanan. Tapi, ini juga jadi patokan bagus, karena ada target minimal setoran rutin ke rekening tiap bulan.

Meski angkanya tipis, barang seribu rupiah, selama nilainya masih lebih besar dari potongan biaya admin, itu sudah cukup bagus. Menabung dengan bunga minimalis, bahkan tanpa bunga sekalipun, tidak jadi masalah besar buat saya.

Dari segi fungsi, kepraktisan aplikasi digital perbankan juga cukup membantu saat harus belanja online. Soal harga atau selera, seharusnya itu relatif.

Selama punya dana sendiri, saat butuh atau ingin belanja dan ada dananya, tinggal beli, bayar kontan. Sekali tembak langsung beres. Kalau kurang atau tidak ada sama sekali, lupakan dulu sampai uangnya cukup.

Pendekatan ini memang kuno, tapi sejauh ini membuat saya tenang. Bebas hutang juga.

Masalahnya, dengan adanya kebijakan Bunga 0 Persen ini, ada satu pertanyaan usil, yang muncul di pikiran saya.

Bagaimana cara mengedukasi masyarakat untuk menabung, jika satu daya tarik lamanya dihilangkan?

Pertanyaan ini jujur saja cukup menggelitik, karena kecenderungan perilaku konsumtif di Indonesia masih cukup tinggi. 

Kesadaran untuk menabung atau menyiapkan cadangan dana darurat bisa dibilang masih belum tinggi, sekalipun ekonomi sempat kembang-kempis akibat pandemi.

Gawatnya, akibat kecenderungan negatif ini, ada satu celah terbuka yang jadi titik rawan, yakni orientasi instan. 

Makanya, korupsi dan penipuan masih merajalela, meskipun sudah banyak yang terciduk. Apalagi, setelah belakangan ada yang secara ajaib dapat banyak diskon masa tahanan, seperti promo belanja online saja. 

Terlepas dari ada bunga atau tidak dan apapun instrumennya, seharusnya OJK dan pihak terkait bisa menjamin rasa aman di masyarakat, sekaligus mengedukasi budaya menabung.

Tanpa rasa aman yang terjamin dan edukasi yang berkualitas, apapun instrumennya, sebesar apapun iming-iming bunga dan hadiahnya, percuma saja. Siklus "gali lubang tutup jurang" akan tetap langgeng.

Ini penting, supaya masyarakat bisa lebih bebas secara finansial, dan tidak meninggalkan warisan hutang yang belum beres. Kasihan kalau generasi penerus yang tidak tahu apa-apa sudah dibebani warisan hutang, bukan harta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun