Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Hari Raya dan Sebuah Siklus Paradoks

3 Mei 2022   12:30 Diperbarui: 3 Mei 2022   12:43 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siklus paradoks (Brillio.net)

Jika ini terus dibiarkan, suatu saat nanti, akan muncul titik jenuh yang lama kelamaan akan meledak seperti bom waktu, seiring makin bertambahnya usia seseorang.

Sebagai contoh, yang lebaran tahun ini masih seorang bayi, mungkin akan menunggu lebaran berikutnya sebagai momen menyenangkan di masa kecilnya. Tapi, setelah masa itu berakhir, selalu ada pergeseran yang muncul, karena perubahan secara alamiah.

Misalnya, seorang anak yang beranjak remaja akan dicecar pertanyaan soal rencana studi di universitas. Mereka yang kuliah atau sudah lulus kuliah akan dicecar soal pekerjaan dan pasangan, bahkan anak bagi yang sudah menikah.

Tentu saja, ini adalah satu hal privat yang tidak seharusnya boleh diumbar sembarangan. Tapi, atas nama kekeluargaan, semua itu terlanjur jadi kebiasaan, bahkan budaya.

Ini ironis, karena mereka yang mencecar pertanyaan itu juga belum tentu akan membantu. Alih-alih membantu, rasa insecure bahkan depresi lah yang akan muncul dari mereka yang ditanya. Toksik, seperti bom waktu.

Di sisi lain, stigma kurang mengenakkan, terutama buat mereka yang masih belum menikah atau belum punya pekerjaan tetap, kadang membuat hari raya jadi satu momen menakutkan. Padahal, ini seharusnya bisa jadi momen refreshing dan reuni yang bagus.

Bayangkan saja, mereka yang belum menikah tapi sudah cukup mapan dalam hal pekerjaan saja bisa jadi sasaran empuk. Apalagi mereka yang masih bekerja serabutan.

Jadi, bukan kejutan kalau mereka jadi kelompok terpinggirkan saat pertemuan keluarga besar di hari raya. Ikut aktif membaur rawan jadi sasaran tembak, tidak membaur malah mati langkah.

Apakah belum menikah atau bekerja serabutan adalah satu kejahatan? Secara hukum tidak, tapi secara budaya (yang menyimpang) sayangnya iya.

Apesnya, mereka kadang tidak punya pilihan lain selain ikut, menjadi "buntut" atau "barang pameran" orang tua. Selebihnya, tinggal duduk manis menjadi penonton, melihat semua memamerkan apa yang bisa dipamerkan, sambil menyiapkan mental, kalau nanti mendadak jadi sasaran empuk.

Jujur saja, situasi semacam ini tidak mengenakkan, karena membuat hari raya menjadi sebuah paradoks: dirindukan karena jadi hari libur nasional, tapi kadang kurang disukai, karena jadi ajang pamer dan panggung pertunjukan buat mereka yang cenderung toksik. Kalau bisa di-skip, pasti akan di-skip saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun