Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandemi dan Masalah Empati

8 Januari 2022   23:59 Diperbarui: 9 Januari 2022   00:11 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi empati (Istockphoto.com)

Pada masa pandemi, empati menjadi satu hal yang umum, terutama di masa-masa sulit. Ada begitu banyak orang yang tanpa malu-malu langsung membantu mereka yang kesulitan, bahkan sampai rela turun ke jalan.

Fenomena ini tentu saja mendatangkan harapan. Masih ada orang baik, sekalipun keadaan sedang sulit.

Pertanyaannya, apakah empati ini masih hidup, di saat situasi sedang naik-turun seperti sekarang?

Jawabannya masih, walaupun ada pihak yang empatinya sedang berlibur, entah ke mana.

Bagi yang empatinya masih siaga, kita layak bersyukur, karena kebaikan yang ada masih terjaga, bahkan mulai menjadi satu kesadaran bersama. Mereka yang empatinya masih siaga ini, sudah mampu menepikan egonya,

Meski ada dari mereka, yang sebenarnya mampu melakukan sesuatu sesuai keinginan, previlese itu berani ditepikan sejenak, demi kebaikan bersama.

Masalahnya, ada juga pihak-pihak yang melupakan empati. Atas nama "kesehatan mental", mereka tak malu untuk bersenang-senang, di saat banyak orang merasa bingung harus berbuat apa.

Makanya, saat ada "public figure" yang panen kritik, karena membawa pulang oleh-oleh virus setelah berlibur ke luar negeri, atau "lolos" dari karantina karena dinilai bersikap sopan, saya merasa, tak perlu ada empati untuk mereka.

Bukan bermaksud kejam, saya hanya coba untuk menyesuaikan diri dengan sikap mereka. Mereka pantas mendapatkan kritik, karena sudah bersikap lalai dalam keadaan darurat seperti sekarang.

Dalam kapasitas mereka sebagai "public figure", yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, mereka malah memberi contoh buruk, yang tidak seharusnya dilakukan.

Di sisi lain, ketegasan pihak-pihak yang mengatur soal kebijakan terkait karantina bagi orang-orang yang datang dari luar negeri patut dipertanyakan. Mereka bisa kecolongan seperti ini, dan dalam beberapa kesempatan kurang antisipatif, karena baru bertindak setelah kecolongan.

Padahal, dalam situasi seperti ini, antisipasi adalah kunci. Kalau kecolongan terus, bisa gawat.

Memang, di negara ini, semua, termasuk data aktual, bisa diakali, tapi rasa percaya masyarakat tidak. Apalagi, kalau ternyata kebijakannya terkesan tebang pilih atau tumpul ke atas.

Kalau pola seperti ini masih saja diulang, jujur saja, saya jadi khawatir, situasinya akan berlarut-larut, karena siklusnya terus berulang. Sudah hampir dua tahun, dan situasinya begini-begini saja. Mengkhawatirkan.

Masa iya, kita mau terjebak di lubang yang sama berkali-kali?

Maka, sebagai langkah antisipasi, pemerintah dan pihak terkait perlu menerapkan larangan berlibur ke luar negeri, terutama ke negara-negara dengan kasus harian virus Corona varian Omicron tinggi. Dengan begitu, peluang masuknya kasus baru bisa sedikit dicegah.

Bisa piknik, apalagi ke luar negeri memang menyenangkan. Apalagi, jika membawa pulang oleh-oleh khas dari sana. Tapi, jika ternyata oleh-oleh itu adalah virus yang bisa menular, lebih baik tidak piknik sama sekali, karena biaya dan dampaknya terlalu mahal untuk dibayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun