Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hubungan Unik Suku Sasak dan Kain Tenun

15 November 2021   16:46 Diperbarui: 15 November 2021   17:29 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita Suku Sasak mengenakan kain tenun khas Suku Sasak (Sumber gambar: Kompas.com)

Bicara soal Pulau Lombok, tentunya akan satu paket dengan Suku Sasak, sang penghuni asli pulau ini. Selain menjadi nama suku, Sasak juga menjadi nama bahasa sehari-hari mereka.

Lazimnya sebuah suku, Suku Sasak punya tradisi turun-temurun yang khas. Salah satunya adalah menenun, yang memang dikenal sebagai keahlian mereka.

Tapi, tradisi ini bukan sembarang tradisi, karena berkaitan dengan identitas dan filosofi mereka. Sederhananya, kain tenun adalah "wajah" Suku Sasak. Sebuah hubungan yang sangat unik.

Secara etimologi, nama suku Sasak berasal dari kata sak-sak, yang artinya satu-satu. Kata sak-sak ini juga menjadi asal kata "sesek", yang dalam bahasa Sasak berarti "menenun". Dari sini saja, kita sudah bisa melihat, seberapa erat hubungan Suku Sasak dan kain tenun.

Pada prosesnya, sesek dilakukan dengan cara memasukkan benang satu persatu, lalu disesakkan atau dirapatkan menjadi bentuk kain dengan cara memukulkan alat tenun tradisional. Uniknya suara yang terdengar ketika memukul mukul alat tenun itupun terdengar seperti suara "sak sak".

Menurut jenisnya, tenun khas Lombok dibedakan menjadi tenun songket dan tenun ikat. Umumnya, ide gambar ragam hias yang digunakan berasal dari objek manusia, fauna, dan flora.

Tenun ikat lebih banyak ditemui di Lombok Timur, seperti di Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel, dan Desa Pringgasela, Kecamatan Pringgasela.

Tenun songket banyak dijumpai di Lombok Barat dan Tengah yang tersebar di Desa Getap, Kecamatan Cakranegara dan Desa Sukadana, Kecamatan Bayan di Lombok Barat serta Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya dan Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat di Lombok Tengah.

Berbeda dengan tenun songket dari daerah lain yang banyak dihiasi benang perak dan emas, tenun songket khas Suku Sasak lebih banyak menggunakan benang katun berwarna-warni.

Ragam motif kain tenun khas Suku Sasak (Sumber gambar: Liputan6.com)
Ragam motif kain tenun khas Suku Sasak (Sumber gambar: Liputan6.com)

Secara filosofis, kain tenun merupakan salah satu simbol fase kehidupan yang dijalani orang Sasak, tepatnya sejak lahir sampai akhir hayat.

Kain tenun biasa menjadi bintang utama dalam upacara adat. Seperti pada acara peraq api atau puput pusar bayi, berkuris (mencukur rambut bayi), sorong serah aji krama (penyerahan kain tenun dari keluarga mempelai pria kepada keluarga istri, saat upacara pernikahan), dan besunat (khitan).

Ada juga tenun umbaq (motif garis-garis) yang biasa dipakai wanita saat menjalani proses persalinan, atau untuk menggendong anak kecil, sebagai simbol kasih sayang dan penuntun hidup. Menurut tradisi, setelah si anak mulai beranjak besar, kain ini disimpan si anak hingga ia meninggal,

Bagi wanita, kemampuan menenun juga bisa menjadi indikator tingkat kedewasaan. Dalam tradisi lama Suku Sasak, seorang wanita dikatakan sudah dewasa dan siap berumah tangga jika sudah pandai menenun.

Sayangnya, kepraktisan dan kemajuan zaman pelan-pelan mulai menggerus eksistensi kain tenun khas Suku Sasak. Akan sangat disayangkan, jika warisan budaya nan eksotis ini hilang ditelan zaman, dan membuat Suku Sasak kehilangan salah satu identitas utama mereka.

Padahal, jika mampu dilestarikan, dan dikembangkan potensinya, kain tenun khas Suku Sasak bisa menjadi aset berharga. Selain dapat bermanfaat secara ekonomi, ada bonus berharga lain dalam bentuk pelestarian budaya lokal, yang bisa didapat di sini.

Inilah potensi yang seharusnya bisa dioptimalkan, karena pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mempunyai program pariwisata "Wonderful Indonesia", yang secara spesifik menetapkan lima Destinasi Super Prioritas (DSP) di Indonesia Aja. Kebetulan, salah satu DSP itu terletak di Pulau Lombok, yakni DSP Mandalika. Jika dua potensi ini dapat diintegrasikan dan dioptimalkan dengan baik, seharusnya manfaat yang dapat dirasakan bukan hanya dirasakan oleh turis yang berkunjung, tapi juga oleh masyarakat sekitar yang ikut diberdayakan olehnya.

Modernitas memang membuat banyak hal berubah, dan membuat semuanya terasa lebih mudah, tapi bukan berarti manusia boleh "lupa akar" karenanya. Jangan sampai, modernitas membuat budaya dan warisannya kehilangan tempat dalam hidup manusia. Karena, budaya adalah wajah jati diri manusia, sementara modernitas hanya alat bantu untuk mempermudah hidup manusia.

Referensi:

- Wacana, H. L.; Suparman, L. G.; Argawa, Nyoman; Astuti, Renggo (1995-01-01). Hikayat Indarjaya. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun