Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gunung Tambora, Dulu dan Kini

14 November 2021   02:14 Diperbarui: 14 November 2021   05:48 2633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Tambora (Sumber gambar: Kompas.com)

Secara umum, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah gunung berapi aktif terbanyak di dunia. Hal ini merupakan dampak dari posisi Indonesia, yang berada di zona Cincin Api Pasifik.

Tak heran, terdapat beberapa letusan gunung berapi dahsyat pernah terjadi di Nusantara. Di abad ke-19, tepatnya pada tahun 1883, Gunung Krakatau bangun dari tidurnya, mengakibatkan tsunami yang menelan puluhan ribu korban jiwa.

Tapi, sebelum Krakatau unjuk gigi di Selat Sunda, pada abad yang sama, ada gunung berapi lain di Indonesia, yang juga pernah erupsi dahsyat. Gunung itu adalah Gunung Tambora di Pulau Sumbawa.

Sejarah mencatat, Gunung Tambora pernah meletus dahsyat pada tahun 1815. Akibatnya, nyaris sepertiga bagian gunung ini runtuh, memicu gelombang tsunami di pantai, dan nyaris menyapu habis peradaban di sekitarnya, dengan membawa serta puluhan ribu korban jiwa. Saking dahsyatnya, ada yang menyebutnya sebagai "Pompeii dari Timur", merujuk pada letusan Gunung Vesuvisus di era Romawi.

Dalam skala letusan Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan Gunung Tambora kala itu mencapai skala 7 (dari maksimal 8). Letusan ini memuntahkan lebih dari 100 kilometer kubik material (termasuk gas sulfur), yang sempat menyebar di stratosfer Bumi, dan menyebabkan terjadinya gangguan iklim global.

Momen ini antara lain ditandai, dengan terjadinya "Tahun Tanpa Musim Panas" di Eropa dan belahan Bumi bagian utara, pada tahun 1816. Setelahnya, area sekitar lereng Gunung Tambora sempat kosong cukup lama, dan baru mulai dihuni kembali pada tahun 1907 hingga sekarang. 

Pendakian pertama pascaerupsi 1815, baru terjadi pada tahun 1847, saat tim ekspedisi yang dipimpin Heinrich Zollineger, seorang peneliti asal Swiss mencapai puncak Gunung Tambora, dan meneliti jejak erupsi, berikut karakteristik vegetasinya.

Lukisan tentang erupsi Gunung Tambora tahun 1815 (Sumber gambar: Nationalgeographic.grid.id)
Lukisan tentang erupsi Gunung Tambora tahun 1815 (Sumber gambar: Nationalgeographic.grid.id)
Secara karakteristik dan dampaknya, letusan dahsyat Gunung Tambora ini mirip dengan yang terjadi pada Gunung Samalas (sekarang kompleks Gunung Rinjani dan Kaldera Segara Anakan) di Pulau Lombok, juga di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada tahun 1257.

Sebelum tahun 1815, Gunung Tambora diketahui tidak aktif dalam waktu lama, dan berketinggian 4.200 m dpl. Setelah letusan dahsyat ini, tinggi Gunung Tambora tinggal 2850 m dpl, dengan kawah berdiameter besar di puncaknya, dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang. 

Jejak letusan tahun 1815 juga bisa ditemui, di Danau Satonda, danau air asin yang terletak di Pulau Satonda, sebuah pulau kecil di dekat Pulau Sumbawa. Danau yang semula berair tawar ini menjadi asin, karena masuknya air laut dalam jumlah besar, akibat tsunami pascaerupsi dahsyat Gunung Tambora tahun 1815.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun