Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hwang Hee-chan, Evan Dimas, dan Media Kita

6 Oktober 2021   02:51 Diperbarui: 6 Oktober 2021   02:57 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hwang Hee-chan (Tribunnews.com)

Pada musim kompetisi 2020/2021, Liga Inggris kedatangan dua pemain Asia, yakni Takehiro Tomiyasu (Arsenal) dan Hwang Hee-chan (Wolverhampton Wanderers). Tomiyasu diboyong Arsenal dari Bologna (Italia) sementara Hwang Hee-chan dipinjam Wolves dari RB Leipzig (Jerman).

Secara umum, keduanya langsung memberi dampak positif. Sejak diperkuat Tomiyasu, Arsenal lupa rasanya kalah, sementara Hwang Hee-chan sudah mencetak 3 gol dari total lima penampilan bersama Wolverhampton.

Tapi, kalau boleh membahas secara spesifik, satu hal yang agak mengganggu adalah pemberitaan soal Hwang Hee-chan di media Indonesia. Entah kenapa, setiap kali eks pemain RB Salzburg ini masuk berita, nama Evan Dimas sering mengiringi.

Oke, keduanya memang pernah bertemu di kualifikasi Piala Asia U-19 tahun 2013 silam. Dalam laga ini, Evan Dimas memang mampu mencetak trigol, dan Garuda Nusantara menang 3-2 atas Korea Selatan.

Kemenangan di bawah guyuran hujan deras itu memang historis, tapi tak lagi relevan untuk dibahas terlalu sering. Andai lapangan kala itu tak kebangkitan karena hujan, ceritanya bisa saja berbeda.

Meski di Piala Asia U-19 edisi 2014 kedua tim sama-sama rontok di fase grup, perjalanan mereka setelahnya benar-benar berbeda level, meski sama-sama jadi pilar tim nasional masing-masing.

Di saat Hwang Hee-chan sudah menjebol gawang Liverpool di Liga Champions, bermain bareng Erling Haaland di Liga Austria, plus menjadi starter di Bundesliga Jerman, dan Liga Inggris,  Evan masih betah berkutat di Liga 1. Pengalaman bermain di luar negeri (bukan sebagai pemain trial) juga hanya bersama Selangor FC di Malaysia.

Jomplang sekali. Itu baru di tingkat klub. Di timnas, lebih jomplang lagi.

Di saat Evan Dimas dan Timnas Indonesia hanya bermain di kualifikasi Piala Dunia, Piala AFF, SEA Games dan Asian Games, Hwang Hee-chan sudah bermain di Olimpiade 2016 dan Piala Dunia 2018 bersama Timnas Korea Selatan.

Bukan hanya itu, pemain berusia 25 tahun ini sukses membantu tim Ksatria Taeguk meraih medali emas Asian Games 2018 di Indonesia, dalam tim yang juga diperkuat Son Heung-Min (Tottenham Hotspur). Capaian ini membuat seluruh pemain dalam tim diganjar hadiah bebas wajib militer dari pemerintah Korea Selatan.

Di saat bersamaan, Evan Dimas dan Timnas Indonesia mentok di babak perdelapan final. Dari sini, perbedaan itu sudah sangat terlihat.

Evan Dimas (Tribunnews.com)
Evan Dimas (Tribunnews.com)
Sebagian dari publik sepak bola nasional mungkin masih akan beralibi, Timnas Korea Selatan adalah salah satu raksasa Asia, tak bisa dibandingkan langsung dengan Timnas Indonesia. Tapi, justru karena itulah ketimpangan level kualitas aktual Evan Dimas dan Hwang Hee-chan makin terlihat.

Di tim sekelas Korea Selatan, persaingan memperebutkan posisi inti cukup ketat, karena banyak pemain bagus dari sistem pembinaan usia muda yang oke. Hanya yang benar-benar berkualitas saja yang akan dipilih.

Sejak era Cha Bum Kun di era 1980-an, mereka selalu punya pemain yang bermain di liga top Eropa. Mereka bahkan punya seorang Park Ji-Sung, yang sudah meraih trofi Liga Inggris dan Liga Champions di Manchester United plus Eredivisie Belanda bersama PSV Eindhoven.

Jadi, membahas Hwang Hee-chan dan Evan Dimas dalam satu paket jelas tidak relevan. Beda level, beda mentalitas.

Kebiasaan seperti pada kasus Evan Dimas dan Hwang Hee-chan ini memang merupakan satu kebiasaan lama di media kita. Entah sejak kapan.

Di satu sisi, ini terlihat norak, karena di saat persepakbolaan nasional masih betah jalan di tempat, sikap overproud seperti ini masih saja dikedepankan.
Padahal, ini adalah satu kebiasaan toxic.

Satu-satunya alasan yang bisa dimengerti hanyalah, sepak bola nasional tak punya cukup banyak hal yang benar-benar layak dibanggakan.

Inilah yang membuat jenis informasi seperti ini terlalu sering digaungkan. Saking seringnya, orang bosan mendengarnya.

Meski bisa dijadikan alat kritik kepada PSSI dan pihak terkait, selama kebobrokan yang ada masih lestari, bahkan makin parah, percuma saja.

Menceritakan kisah masa lalu yang bagus memang menyenangkan, tapi itu tidak akan mengubah keadaan buruk di masa depan. Malah, nostalgia ini bisa menjadi satu racun, yang membuat keadaan menjadi buruk di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun