Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cerita dari Atap Dunia

3 Oktober 2021   04:57 Diperbarui: 13 Desember 2021   02:44 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal pendakian ke pegunungan Himalaya, kebanyakan cerita yang ada berkutat pada perjalanan sukses mencapai puncak. Tapi, dalam webinar bersama KOTEKA, Sabtu (2/10) lalu, saya mendapat cerita berbeda tentangnya.

KOTEKA yang kali ini menghadirkan Rahmat Hadi, seorang pendaki gunung yang berdomisili di Sleman, Yogyakarta menampilkan cerita pendakian ke basecamp Gunung Everest (8.848 mdpl) dan basecamp Gunung Annapurna (8.091 mdpl) pada tahun 2014 dan 2015 saat berusia 43 tahun.

Waktu kecil, Pak Hadi terinspirasi mendaki gunung karena terbiasa nonton film India dan pernah bermimpi mendaki gunung Himalaya. Semasa Kuliah (1992), pria keturunan Bugis ini pernah mendaki gunung di pulau Jawa atau luar Jawa.

Karena kesibukan kerja dan lain-lain, hobi mendaki gunung baru aktif ditekuni lagi sejak tahun 2006. Pendakian ke Himalaya sendiri merupakan pendakian pertamanya di luar negeri. Selain karena mimpi masa kecil, ada faktor lain yang jadi pertimbangan.

Pertimbangannya adalah, bagi pendaki gunung, mendaki Himalaya setara dengan "naik haji". Sebagai informasi, 9 dari 10 gunung tertinggi di dunia ada di Himalaya.

Hanya satu gunung di luar pegunungan Himalaya, yang berada dalam 10 besar gunung tertinggi di dunia, yakni Gunung Godwin Austin alias K2 (8.611 mdpl). Gunung tertinggi kedua di dunia ini terletak di Pegunungan Karakoram, Pakistan.

Dari Himalaya, pria yang mempunyai usaha warung kopi ini sempat menaklukkan puncak gunung Kilimanjaro (gunung tertinggi di Afrika) dan mendaki Gunung Elbrus di Rusia. Tapi, pengalaman mendaki Gunung Everest dan Annapurna menjadi yang paling berkesan.

Selain karena menjadi yang pertama dilakukan di luar negeri, ada antusiasme dan berbagai persiapan ekstra, mulai dari fisik, mental, asuransi, visa, sampai biaya (berkisar antara Rp. 15-16 juta). Semua ini disiapkan Pak Hadi sejak setahun sebelumnya, dengan tantangan terbesar ada di mindset dan mental.

Sebelum mendaki, Pak Hadi terlebih dulu melakukan aklimatisasi (adaptasi fisik) di Kathmandu, Nepal, lalu terbang ke Kota Lukla naik pesawat Cessna (25 menit penerbangan) ke bandara Tenzing Norgay atau Bandara Tenzing-Hillary.

Bandara ini adalah satu dari 10 bandara paling berbahaya di dunia. Ujung landasan pacunya bersebelahan dengan jurang. Jika duduk di jendela kiri, bisa melihat langsung Gunung Everest dari pesawat.

Moda transportasi penerbangan lebih efektif, jika tak ada cuaca buruk, karena jika menempuh perjalanan darat, perlu waktu tempuh sampai 14 hari perjalanan, mengingat sulitnya medan.

Secara khusus, untuk mendaki gunung tinggi di luar negeri, pendaki disarankan untuk membeli dan mengkonsumsi obat Diamox sejak dua hari sebelum perjalanan, untuk mencegah penyakit ketinggian (mountain sickness).

Di pegunungan Himalaya, kerawanan ini mulai hadir di ketinggian menjelang ketinggian 4.000 mdpl. Di sini, kadar oksigen mulai tipis. Di ketinggian 4.000 mdpl keatas medan berbatu-batu, jarak antarlodge jauh, dan suhu udaranya bisa mencapai angka minus.

Karenanya, pendaki harus mampu menjaga ritme pendakian tetap "slow and steady" (bistare dalam bahasa Nepal) alias  tetap hati-hati dan konsisten. Satu lagi, para pendaki harus selalu mendahulukan Yak (sejenis kerbau di Himalaya) yang lewat dengan membawa muatan, supaya perjalanan tetap lancar.

Dalam perjalanannya menuju basecamp Gunung Everest (5.800 mdpl) Pak Hadi yang mendaki bersama pendaki wanita asal Argentina sempat melewati Desa Tyangboche. Desa di dekat basecamp Gunung Everest ini terletak di ketinggian kurang lebih 3.900 mdpl, dan merupakan tempat kelahiran Tenzing Norgay, salah satu penakluk pertama puncak Gunung Everest pada tahun 1953.

Untuk akomodasi, Pak Hadi memilih tinggal di lodge / penginapan, karena lebih hemat daripada pakai tenda.
Di lodge terakhir yakni di Namche Bazar, juga dijual makanan khas Nepal, seperti Nasi Dalbat (mirip nasi Padang di Indonesia, tapi dengan tambahan ekstra kari) dan Momo (mirip siomay), yang jadi favorit pak Hadi selama di Nepal. Selain makanan lokal, dijual juga makanan internasional, untuk mengakomodasi pendaki asing.

Secara total, waktu tempuh pendakian ke basecamp Gunung Everest adalah 9 hari perjalanan, sementara waktu tempuh saat turun gunung adalah 3 hari perjalanan. Jika saat pendakian santai, tidak dengan saat turunnya, karena waktunya berkejaran dengan jadwal penerbangan.

Perjalanan Pak Hadi ke basecamp Gunung Everest ini telah dibukukan dalam buku berjudul "Menggapai Puncak Himalaya".

Sementara itu, dalam perjalanan menuju ke basecamp Gunung Arnapura (4.130 mdpl), Pak Hadi singgah di kota Pokhara. Kota terbesar kedua di Nepal ini merupakan kota besar terdekat dari basecamp Gunung Arnapura, dengan jarak tempuh 15 menit dari Sarangkot, desa terakhir sebelum basecamp.

Pada waktu melakukan perjalanan ke basecamp Gunung Arnapura, Pak Hadi memutuskan jadi relawan, karena sedang terjadi gempa bermagnitudo 7.9 SR di Nepal.

Alhasil, perjalanannya harus ditunda sejenak. Waktu ada kesempatan mendaki, setibanya di ketinggian 3.300 mdpl, terjadi gempa susulan bermagnitudo 7.3 SR. Sebuah pengalaman yang tak biasa.

Tapi, pengalaman ini membawanya berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat yang berada di daerah terpencil, bersama relawan lokal. Dari sini terjalin kedekatan sebagai teman dengan orang Nepal.

Dari pengalaman ini, hadirlah buku berjudul "Himalaya 7.9 Magnitudo", yang bisa dipesan secara online di market place. Negara Nepal juga menjadi inspirasi nama warung kopinya, yang berjenama "Nepa", yang terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Perjalanan ke Nepal sungguh berkesan bagi Pak Hadi, karena keramahan orang Nepal mengingatkannya pada sikap terbuka orang Indonesia di tahun 1970-1980-an. Dari perjumpaannya dengan pendaki luar negeri, ia juga banyak belajar soal respect to others dan ketertiban.

Pengalaman Pak Hadi di Nepal juga memberi pelajaran berharga, khususnya bagi para pendaki yang memulai di usia senior, yakni faktor penentu untuk naik gunung bukan usia, tapi stamina dan persiapan.

Di sisi lain, pengalaman menjadi relawan di Nepal ikut memberi pelajaran berharga, yakni hobi mendaki gunung, dalam posisinya sebagai satu sarana mensyukuri berkat Sang Pencipta, pelan tapi pasti akan membimbing penghobinya, untuk dapat lebih peka, khususnya kepada sesama yang membutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun