Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lain Baliho, Lain Mural

25 Agustus 2021   17:55 Diperbarui: 27 Agustus 2021   00:01 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mural (IDNTimes.com)

Belakangan ini, banyak muncul mural yang mengkritisi kebijakan pemerintah, dan menggambarkan penderitaan rakyat di masa pandemi, khususnya rakyat yang berada di kelompok rentan.

Sayangnya, respon yang muncul adalah penghapusan mural dan opini negatif atasnya. Sebuah ironi karena pada saat bersamaan, masih banyak baliho tak berizin yang didiamkan saja. 

Apalagi, belakangan juga bertebaran baliho politisi dimana-mana. Masih pandemi dan pemilu masih jauh. Buat apa?

Padahal, mural sendiri adalah cerminan suara kalangan akar rumput. Meski terkesan agak kasar bagi kalangan atas, gaya ekspresi mereka jauh lebih layak untuk diapresiasi.

Tak ada maksud untuk membanggakan prestasi, apalagi menjadi narsis di sini. Semua dimulai dan dibuat secara mandiri, berangkat dari keinginan untuk berekspresi.

Gayanya pun artistik. Ada paduan warna, gambar, atau pesan yang jelas. Tak ada yang diperbagus atau diperjelek, apa adanya.

Uniknya, meski tergolong lebih kuno dari baliho, mural ternyata lebih adaptif, karena meski sering dihapus langsung, potretnya menjadi satu jejak digital yang viral di dunia maya.

Sebenarnya, Ini sama dengan baliho politisi belakangan ini. Tapi, baliho lebih banyak dijadikan karikatur, sedangkan mural tetap sesuai dengan aslinya.

Di sini, mural terbukti lebih berkualitas dan lebih "mengena" ketimbang baliho. Satu hal yang membuat wujud fisiknya cenderung berumur lebih pendek ketimbang baliho.

Perihal mural soal pandemi, sebaiknya pemerintah tidak terlalu reaktif, dengan langsung menghapusnya. Ada baiknya itu dilombakan dan dijadikan media evaluasi, karena realita di lapangan kadang lebih rumit dari kelihatannya.

Contoh sederhananya, sejak pandemi merebak lebih dari setahun terakhir, Indonesia masih berkutat pada masalah hoaks soal vaksin, distribusi vaksin yang belum merata, sampai penerapan prokes yang belum benar-benar efektif, karena masih ada yang bandel.

Itu belum termasuk masalah-masalah lain yang mungkin kurang diekspos.

Jelas, ini adalah satu PR bersama, dan mural hadir sebagai satu corong suara rakyat. Bentuknya memang kritik, tapi jika dikumpulkan pasti bisa jadi masukan berharga buat pemerintah.

Seharusnya, pemerintah layak berterima kasih, karena masih ada yang peduli, meski dalam bentuk kritik. Ini jauh lebih baik dari pujian tanpa batas dan sikap cuek yang bisa melenakan.

Jangan lupa, pemerintah sedang dalam sorotan, karena ada oknum pejabat menilep dana bansos puluhan miliar rupiah, tapi mendapat keringanan sanksi, hanya karena di-bully habis-habisan oleh warganet. Satu perseden buruk di masa pandemi.

Dalam situasi seperti ini, rakyat sebenarnya tak butuh data statistik yang terlihat bagus, tapi kurang sesuai dengan realita dari pemerintah. Rakyat butuh kejujuran dan keterbukaan pemerintah.

Andai keadaan sebenarnya memang lebih buruk, selama pemerintah jujur, berkomitmen penuh dan tak ada oknum pejabat yang korupsi, rakyat pasti akan mendukung.

Dalam masa sulit seperti ini, pemerintah seharusnya menyadari, suara rakyat adalah satu nafas demokrasi. Selama suara itu murni dan jujur, seharusnya itu akan sangat berguna jika ditindaklanjuti dengan reaksi dan solusi positif. Jika ternyata itu langsung langsung dibungkam, jelas ada yang salah, tapi entah siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun