Pada Hari Sabtu (7/8) saya berkesempatan mengikuti temu virtual bersama teman-teman K-JOG. Kali ini, kami saling mendengar atau berbagi cerita, bersama para penyintas dan mereka yang kehilangan orang terdekat karena COVID-19.
Pendek kata, cerita yang hadir di sini benar-benar mampu mempertemukan, karena semua sama-sama mengalami kesulitan karena pandemi. Semua bisa saling berbagi dan menguatkan lewat cerita masing-masing.
Di samping cerita berbagai kesulitan dan kabar sedih yang datang silih berganti, ada kesadaran bersama di sini untuk tetap waspada. Bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.
Untuk kewaspadaan fisik, tentunya kita semua sudah tahu persis: rutin terapkan protokol kesehatan ketat, menjaga kesehatan tubuh dan makan makanan bergizi. Tinggal dijalani saja.
Satu hal yang cukup menarik perhatian saya adalah soal kewaspadaan mental, yang dibahas oleh Pak Ang Tek Khun, salah satu pembicara di sini. Saya sebut menarik, karena hal ini ternyata tak kalah penting dengan kewaspadaan fisik, karena mengajak kita untuk lebih peka dan sadar batasan.
Perkara ini belakangan menjadi satu hal sederhana yang ternyata sangat berharga.
Misalnya, saat orang terdekat kenalan kita atau orang terdekat kita berpulang karena pagebluk, kita tak perlu repot-repot mengucapkan untaian kata dukacita yang berlebihan, tapi hanya copy paste dari kata-kata yang sudah ada.
Bukannya menghibur, itu justru akan menjengkelkan si penerima ucapan, karena terkesan seperti main-main saja. Lebih baik mengirim kata sederhana, tapi benar-benar dari hati dan pikiran kita, atau diam sama sekali.
Syukur-syukur kalau bisa memberikan hadiah untuk menghibur. Ini penting, karena dengan begitu pihak yang sedang berduka akan punya waktu untuk lebih fokus menghadapi masa sulit dan memulihkan diri.
Hal ini kebetulan cukup relevan dengan kebiasaan saya seturut kondisi belakangan ini. Banyak kabar duka datang di media sosial akibat amukan pandemi.