Masalahnya, berhubung saya waktu itu bekerja di kantor, dengan kondisi fisik "di bawah standar normal", saya biasa mengandalkan ojek online, yang memang praktis, dan sesuai dengan kondisi fisik saya.
Sebenarnya, ada pilihan moda transportasi umum yang harganya lebih murah, dalam wujud bus "antar kota dalam provinsi" trayek Jogja-Tempel, yang bisa sampai di depan kantor.
Tapi berhubung sedang pandemi, tingkat ketidakpastiannya cukup besar, karena armada bus yang beroperasi cukup terbatas. Dalam kondisi normal saja, butuh waktu agak lama untuk mendapatkan tumpangan bis, yang biasa berjalan cukup santai ini.
Jadi, ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Belum lagi, jika masalah keselamatan diperhatikan, karena situasi sedang serba tak pasti. Lebih baik membayar lebih, tapi semuanya terjamin.
Jujur, saya tidak berani membayangkan, seberapa "berhemat" nya pekerja yang masih tinggal di kost atau kontrakan. Satu-satunya bayangan logis di pikiran saya hanyalah kerja sampingan.
Risikonya, waktu istirahat akan semakin berkurang. Bagian pahitnya, jika ada yang terpaksa "gali lubang tutup lubang".
Di sini, saya justru mendapati, kehidupan kelas pekerja di sini justru jauh lebih keras dari Jakarta, karena acuan standar kebutuhan hidup layak (untuk penghitungan upah minimum) di sini begitu minimalis.
Ironisnya, keadaan terlihat semakin timpang, karena harga properti terus meningkat, seperti halnya kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketimpangan ini sendiri muncul, antara lain karena cukup banyaknya pelajar atau mahasiswa pendatang yang memang punya daya beli tinggi.
Mereka umumnya menganggap, biaya di Jogja serba murah, jika dibandingkan dengan daerah asal mereka, yang umumnya punya besaran upah minimum lebih tinggi, juga dengan standar harga yang sebenarnya menyesuaikan dengan besaran standar kebutuhan hidup layak.
Jadi, sebetulnya sama saja.