Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Jogja, Sebuah Sudut Pandang

15 Maret 2021   02:18 Diperbarui: 15 Maret 2021   05:47 588 11
"Kenangan, Rindu, dan Pulang."

Inilah tiga kata yang mengakrabi Jogja, baik dari kotanya secara khusus, atau area provinsinya secara umum.

Kebetulan, dalam posisinya sebagai salah satu daerah tujuan wisata dan daerah tujuan studi, Jogja memang punya daya tarik tersendiri.

Ditambah lagi, kota Jogja sendiri juga pernah menjadi ibukota negara, tepatnya pada masa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949).

Inilah alasan mengapa di Jogja ada Istana Negara (yang dikenal dengan sebutan Gedung Agung), tempat presiden biasa "ngantor" jika berkunjung ke wilayah Jogja dan sekitarnya.

Sedikit penjelasan awal di atas, mungkin membuat sebagian orang punya keinginan untuk menetap di sini, karena semua terlihat keren.

Tapi, jujur saja, sebagai orang yang sudah belasan tahun tinggal di sini, keinginan itu sebetulnya terdengar agak aneh. Kecuali, jika orang tersebut memang punya pendapatan besar, tabungan pensiun cukup banyak, atau ingin bekerja lepas, tanpa embel-embel tekanan tinggi.

Budaya permisif di sini, memang membuat suasana jadi serba santai. Secara personal memang menyenangkan. Tak ada masalah adaptasi, sepanjang tidak ada "toxic person" di sini.

Meski begitu, budaya "santai" ini kurang pas untuk pekerja kantoran atau sejenisnya, dalam konteks profesional. Khususnya di badan usaha yang kurang bonafide.

Seperti diketahui, tingkat besaran upah minimum kota/kabupaten (UMK) di sini masih berada di kisaran dua juta rupiah pada titik tertingginya (di kota Yogyakarta) dan sedikit di bawahnya, pada daerah lain.

Itu dalam kondisi sebelum pandemi datang. Saat pandemi menyerang, sudah pasti ada penyesuaian sana-sini di lapangan. Jadi, bisa dibayangkan seberapa "hemat" nya gaya hidup hemat yang harus diterapkan.

Beli rumah? Hampir mustahil. Bukan pesimis, tapi harga properti di sini memang naik cukup signifikan. Makin lama, itu makin tak terbeli dengan standar upah minimum saat ini.

Inilah celah yang banyak dimanfaatkan orang kaya atau pebisnis dari berbagai daerah (dan negara) untuk masuk. Fenomena ini membuat semua terlihat baik-baik saja, meski pertambahan argo upah minimum terlihat santai.

Kebetulan, pada awal tahun ini, saya sempat bekerja sebentar di sebuah grup usaha lokal, sekembalinya dari Jakarta. Secara personal, tak ada masalah, meski ada sedikit uji nyali dalam bekerja.

Tuntutan kerjanya semakin intens dan berorientasi instan dari waktu ke waktu, sementara pada saat bersamaan ada penyesuaian gaji secara konsisten (dengan pertimbangan karena imbas pandemi plus penegakan disiplin).

Alhasil, selama dua bulan bekerja di sana, saya jadi mengalami lagi, bagaimana hidup sebagai "pekerja" di sini. Sebelumnya, hampir lima tahun silam, saya pernah bekerja di sebuah hotel kecil, sebelum akhirnya berhenti karena fisik ambruk akibat kelelahan.

Kali ini, setelah masa percobaan selesai, meski ada kesempatan untuk "lanjut", dengan penyesuaian upah (lagi), saya memutuskan untuk pamit atas kesepakatan bersama, karena memang dirasa kurang cocok, dan kantor sedang berhemat.

Kebetulan, masih ada pemasukan rutin, berupa cicilan tunggakan gaji dari kantor lama saya, yang jumlahnya "cukup" buat saya, dan ada usaha keluarga yang sedang dirintis. Jadi, saya memilih pergi, sambil tetap menulis tentu saja.

Sebagai seorang pekerja di sini, saya cukup beruntung karena tinggal di rumah dengan keluarga. Jadi, saya tidak perlu pusing memikirkan biaya sewa kost dan koleganya.

Tapi, saya masih tetap harus berhemat, supaya gaji tetap bisa ditabung. Oke, ini bisa dilakukan. Di sini, pengalaman dua tahun terakhir menjadi "anak kost" dan pekerja di Jakarta sangat membantu.

Praktis, pengeluaran rutin yang ada banyak berkutat di ongkos transportasi, dan makan siang selama enam hari kerja dalam sepekan.

Pulsa tidak saya hitung, karena sudah terbantu oleh "K-Rewards". Selebihnya, ada sedikit pengeluaran tak terduga, yang frekuensinya hanya sesekali.

Masalahnya, berhubung saya waktu itu bekerja di kantor, dengan kondisi fisik "di bawah standar normal", saya biasa mengandalkan ojek online, yang memang praktis, dan sesuai dengan kondisi fisik saya.

Sebenarnya, ada pilihan moda transportasi umum yang harganya lebih murah, dalam wujud bus "antar kota dalam provinsi" trayek Jogja-Tempel, yang bisa sampai di depan kantor.

Tapi berhubung sedang pandemi, tingkat ketidakpastiannya cukup besar, karena armada bus yang beroperasi cukup terbatas. Dalam kondisi normal saja, butuh waktu agak lama untuk mendapatkan tumpangan bis, yang biasa berjalan cukup santai ini.

Jadi, ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Belum lagi, jika masalah keselamatan diperhatikan, karena situasi sedang serba tak pasti. Lebih baik membayar lebih, tapi semuanya terjamin.

Jujur, saya tidak berani membayangkan, seberapa "berhemat" nya pekerja yang masih tinggal di kost atau kontrakan. Satu-satunya bayangan logis di pikiran saya hanyalah kerja sampingan.

Risikonya, waktu istirahat akan semakin berkurang. Bagian pahitnya, jika ada yang terpaksa "gali lubang tutup lubang".

Di sini, saya justru mendapati, kehidupan kelas pekerja di sini justru jauh lebih keras dari Jakarta, karena acuan standar kebutuhan hidup layak (untuk penghitungan upah minimum) di sini begitu minimalis.

Ironisnya, keadaan terlihat semakin timpang, karena harga properti terus meningkat, seperti halnya kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketimpangan ini sendiri muncul, antara lain karena cukup banyaknya pelajar atau mahasiswa pendatang yang memang punya daya beli tinggi.

Mereka umumnya menganggap, biaya di Jogja serba murah, jika dibandingkan dengan daerah asal mereka, yang umumnya punya besaran upah minimum lebih tinggi, juga dengan standar harga yang sebenarnya menyesuaikan dengan besaran standar kebutuhan hidup layak.

Jadi, sebetulnya sama saja.

Di segmen harga murah, rumah makan, warung burjo atau angkringan berharga miring memang masih ada. Tapi, mereka kian terdesak oleh kedatangan warung makan modern dengan harga tak jauh beda dengan Jakarta atau kota-kota besar lainnya, ditambah dengan hadirnya mall baru di sejumlah tempat.

Nestapa warung "low budget" ini makin lengkap, karena mereka menjadi satu kelompok rentan akibat imbas pandemi. Daya beli masyarakat yang aslinya masih rendah, jadi semakin rendah karena pandemi memaksa semua untuk berhemat.

Melihat fenomena ini, sudah seharusnya semua pihak terkait mulai mengkaji ulang kalkulasi angka upah minimum, supaya bisa relevan dengan dinamika situasi yang ada.

Falsafah "nrimo ing pandum" (Jawa: menerima segala keadaan dengan ikhlas) memang baik, tapi bukan berarti boleh dijadikan pembenaran atas langgengnya sebuah ketimpangan, dan kealpaan dalam menyadari ketertinggalan dengan daerah lain, khususnya di tingkat nasional.

Ini penting untuk diperhatikan dalam jangka panjang. Supaya, masyarakat setempat tidak semakin terkikis dan tercerabut paksa dari akarnya.

Tanpa mereka, keindahan budaya dan pariwisata suatu daerah akan kehilangan "roh" nya, karena merekalah yang setia menjaga keaslian dan kelestariannya, tanpa memikirkan untung rugi, sebagai bagian dari proses merawat jati diri.

Romantis itu manis, tapi jangan lupa realistis, supaya nanti tidak meringis.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun