Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhirnya

6 Maret 2021   22:18 Diperbarui: 6 Maret 2021   22:47 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Hipwee.com)

"Kau masih bisa lanjut, tapi gajimu akan dipotong, menimbang keadaan sekarang."

Mungkin, ini adalah kabar baik untuk orang yang sedang dalam tekanan. Tapi, itu malah membuatku berpikir sebaliknya.

Dipotong lagi? Yang benar saja!

Aku ingat, saat kami pertama kali membahas ini, kami langsung sepakat di satu angka. Tapi, di bulan berikutnya, angka itu berkurang, dengan pertimbangan ada penyesuaian akibat pagebluk.

Di bulan berikutnya, angka itu kembali berkurang cukup banyak buatku, hanya karena aku satu kali mengabarkan terlambat, saat ada acara penting di rumah. Pengurangan itu akan kembali datang, seandainya aku lanjut, dengan penalti yang siap menunggu jika aku kembali membuat pelanggaran.

Periode pagebluk ini pelan-pelan membuatku belajar, pemotongan gaji memang biasa, tapi, sekali diterima, itu akan jadi satu kebiasaan. Sama seperti kebohongan, satu pemotongan adalah awal dari pemotongan-pemotongan lainnya.

Gaji berkurang, tekanan kerja bisa bertambah. Sudah bisa ditebak. Cukup sekian.

Tanpa ragu, aku berkata,

"Terima kasih atas infonya bos. Tapi, setelah menimbang keadaan, dan juga omongan Anda, saya memutuskan untuk pamit. Sepertinya saya memang tidak cocok di sini."

Kata-kataku sukses membuat bos tercenung sejenak.

"Sebenarnya aku ingin membantumu, tapi sepertinya kita memang tidak cocok menjadi rekan kerja. Hanya cocok sebagai teman lama."

"Jangan khawatir bos. Semua baik-baik saja. Saya bisa fokus membantu orang tua di rumah, sambil beraktivitas. Toh kantor sedang akan berhemat kan?"

"Kamu benar. Baiklah. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan, aku siap membantu."

Begitulah, semua berakhir dengan tenang. Tanpa gonjang-ganjing, apalagi drama kudeta. Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang. Tak ada masalah, karena semua sudah beres.

Aku ingat, hari terakhirku di sana menjadi yang terpanjang. Aku menjadi orang yang pulang terakhir, karena harus berpamitan dengan semuanya. Sedikit melelahkan, tapi malam itu terasa sangat melegakan.

Selanjutnya, hari-hari berlalu dengan santai. Memulai lagi yang sempat terlewatkan, dan bertemu teman-teman dengan tenangnya.

Mungkin, keputusan ini terdengar gila. Tapi, ini kuambil dengan pertimbangan matang. Aku masih punya hasil pampasan perang dari ibukota. Mirip gaji bulanan, tapi itu hasil negosiasi sebelum aku pulang.

Aku akan mendapatkannya sampai akhir tahun ini atau awal tahun  depan. Jumlahnya sama dengan tawaran terakhir yang kuterima.

Kenyataan itu sudah cukup untuk membuatku yakin untuk pergi. Memulai di rumah tanpa ada tekanan terlalu tinggi, sambil menjalani hidup dengan lebih wajar.

Aku masih belum tahu, kemana hidup akan menuntun. Untuk saat ini, aku hanya bisa bersyukur, karena hati ini masih gemar berkata,

"Akhirnya kamu punya kehidupan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun