Saat itu, saya tergolong masih "baru", alias belum genap setahun berkompasiana, meski akun sudah bercentang biru. Mungkin, inilah sisi negatif dari "perkembangan" yang terlihat cukup cepat.
Situasi inilah, yang membuat saya masih belum terikat dengan komunitas Kompasianer di daerah. Dalam perjalanannya, situasi kikuk ini ternyata cukup membantu, karena sejak hampir dua tahun terakhir saya merantau ke Jakarta.
Jadi, tak ada sedikitpun ikatan dengan komunitas Kompasianer di daerah saat saya pergi dari Kota Gudeg. Kalaupun ada interaksi, interaksi itu terjadi di media sosial, khususnya setelah saya tinggal di Jakarta.
Respon positif justru datang dari "pusat", karena mereka sangat terbuka sejak awal. Saya dan tulisan saya diterima dengan baik, seperti halnya Kompasianer lain. Inilah yang membuat saya betah.
Memang, ada begitu banyak hal, yang membuat Kompasianer datang dan pergi. Mungkin, memang beginilah dinamikanya.
Tapi, inilah tempat dimana saya merasa nyaman seperti di rumah sendiri, karena di sinilah saya menemukan ruang bebas, untuk menuangkan isi hati dan pikiran secara utuh. Menulis apapun yang ingin ditulis.
Kompasianival 2020 memang akan jadi pengalaman kedua buat saya. Tapi, ini menjadi satu paket unik, jika diurutkan dengan tahun sebelumnya.
Kompasianival pertama saya tahun lalu diadakan secara offline, sementara Kompasianival tahun ini diadakan secara online. Kombinasi pengalaman berbeda ini, jelas menjadi satu hadiah tersendiri di tengah situasi sulit seperti sekarang.
Pandemi memang memaksa ajang kopi darat tahun ini jadi berbeda dengan biasanya. Ada sedikit harap-harap cemas soal koneksi internet di saat musim hujan mulai datang seperti sekarang. Tapi, semoga rasa kebersamaan dan kegembiraannya tetap sama.
Kami datang, Kompasianival.