Di situlah aku menyadari, ke mana arah pembicaraan ini. Berhubung situasi sedang diam, aku langsung menyebut menu makanan dan minuman yang ingin kusantap. Konon katanya, menu ini adalah salah satu menu khas disitu, karena racikan bumbunya yang unik.
Satu hal yang tak kuduga, bos justru memesan menu kudapan goreng yang terlalu umum, karena kudapan jenis ini biasa ditemui di berbagai warung tenda, warteg, bahkan lapak biasa di pinggir jalan.
Saking umumnya, ia sebetulnya tak perlu memesan di restoran itu, karena di luar sana ada banyak yang menjual menu serupa, dengan rasa lebih baik dan harga jauh lebih waras. Terlepas dari kebiasaannya yang hanya makan sedikit, aku merasa tindakannya kali ini sungguh tak wajar.
Benar, dari kebiasaannya itu, ia sering menyisakan banyak makanan. Kadang, secara mendadak, aku diminta menghabiskan, tapi aku hanya akan menghabiskan, jika memang belum makan. Selain untuk berhemat, aku coba mencegah agar makanan itu tak mubazir, karena masih banyak orang kelaparan di luar sana.
Saat pesanan tiba, kami lalu melanjutkan pembicaraan sambil menikmati makanan.
"Akhir bulan ini, aku akan mengurangi jumlah pegawai secara besar-besaran. Hanya satu orang saja di tiap divisi yang akan bertahan. Itupun tanpa gaji, karena kita tidak sanggup membayar."
Ternyata, dugaanku benar. Kapal yang oleng sudah mulai reyot, karena tak sempat diperbaiki. Pagebluk ini seperti hempasan badai yang terus menari liar di lautan ganas.
Aku bisa memahaminya, tapi cara ini kurang baik. Ajakan untuk bertemu dan makan di restoran, ternyata hanya bungkus luar sebuah kekacauan. Sama seperti yang selama ini sudah kulihat.
"Kenapa tidak diumumkan dari awal bulan bos? Ini terlalu mendadak. Waktunya tak cukup untuk cari pekerjaan baru. Sekacau inikah?", Protesku.
"Yah, harap maklum, ini adalah usaha rintisan. Kamu sudah tahu sendiri. Masih normal saja terengah-engah, apalagi sekarang.", Jelasnya.
Seperti biasa, "usaha rintisan" jadi alasan, seolah enggan jadi dewasa, seperti Peter Pan saja.