Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Preacher" dan "Megachurch", Sebuah Refleksi

30 Juni 2020   01:42 Diperbarui: 3 Juli 2020   10:41 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Tirto.id)

Sebagai pembuka, izinkan saya menjelaskan, apa yang saya tulis di sini, adalah hasil pengamatan dan refleksi dari sebuah fenomena, berdasarkan sudut pandang saya. Tidak untuk digeneralisasi secara umum.

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak awal era reformasi, banyak muncul gereja postmodern di kota-kota besar Tanah Air. Di gereja postmodern, atau yang belakangan biasa disebut "megachurch" banyak bermunculan sosok pengkhotbah (Bahasa Inggris: preacher) dari berbagai latar belakang. Mulai dari yang memang berlatar belakang pendidikan teologi (pendeta), mantan artis, sampai kalangan profesional.

Dalam perkembangannya, para "preacher" ini mendapat embel-embel "Ps" di depan nama mereka, tapi inisial itu adalah kependekan untuk sebutan "Pester", yang jelas berbeda dengan "Pastor", karena ini berakar dari kata "Preacher".

Sebagai seorang warga gereja aliran "mainstream", sebenarnya saya memilih  bersikap "bodo amat" dengan fenomena ini. Saya sudah merasa nyaman di posisi saya, karena ini terbukti membuat saya bisa membaur dengan cair di masyarakat yang majemuk, dan inilah "rumah" saya.

Hanya saja, saya mulai merasa tergelitik, karena setelah membahas ayat Alkitab, sebagian dari para "preacher" ini biasanya membicarakan berbagai hal, dengan dirinya sebagai bintang utama. Mulai dari memberikan motivasi, membahas mukjizat, sampai membuat nubuat absurd.

Untuk dua hal terakhir, saya memilih menganggapnya sebagai sebuah dongeng, karena itu bukan ranah manusia biasa. Di sini, kadang saya melihat, para "Preacher" ini terlalu sembrono. Sikap semacam inilah, yang rawan menghasilkan gesekan, termasuk dengan saudara sebangsa dari keyakinan lain.

Publisitasnya pun cukup masif, dan semakin praktis berkat keberadaan media sosial, terutama di masa pandemi seperti sekarang. Hebatnya, mereka punya tim yang bekerja penuh waktu dan digaji secara profesional, bukan sukarela seperti kebanyakan gereja aliran "mainstream".

Dari segi penampilan, mereka kerap terlihat modis, dengan berbagai barang bermerek. Alhasil, mereka terlihat seperti seorang "Entrepreneur", tapi dalam kapasitasnya sebagai "Preacher", mereka lebih layak disebut sebagai seorang "Preacherpreneur".

Sementara itu, khotbah yang mereka sampaikan biasanya tak terlalu mendalam, banyak bumbu-bumbu komedi, dan relatif cepat. Ini merupakan bagian dari manajemen waktu dan tenaga, karena ibadah di "megachurch" umumnya didominasi nyanyian dengan gaya dan musik "full konser", kombinasi yang banyak menguras tenaga plus memainkan emosi.

Saya sendiri hanya menikmatinya sebagai sebuah "konser" yang agak "menakutkan", karena emosi negatif yang coba dikeluarkan terasa begitu sesak. 

Saya sendiri tidak pernah mampir ke sana sendirian, jika tak ada teman atau saudara yang menemani, karena kondisi fisik saya tak memungkinkan untuk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun