Seperti diketahui, Timnas Indonesia juga kerap kesulitan tampil lepas saat bermain di kandang lawan.
Kekalahan dari Malaysia, plus aksi anarkis oknum suporter jelas menjadi satu paket pukulan psikologis telak jelang menghadapi Thailand.
Dengan kondisi begini, tak elok jika target menang tetap dicanangkan. Bagaimanapun, pukulan mental ini sulit untuk bisa pulih dalam semalam.
Menariknya, kekalahan dari Malaysia seolah menggambarkan bagaimana wajah sepak bola kita saat ini. Tata kelolanya masih amburadul, dengan kompetisi liga tetap bergulir saat Timnas bermain. Aksi anarkis oknum suporter yang tak kunjung dewasa masih belum hilang, dan target prestasi (dari PSSI) yang tak pernah sesuai dengan level kualitas aktual pemain kita.
Dengan kekalahan ini, seharusnya kita tak boleh sembarangan menaruh harapan (terlalu) besar pada Timnas untuk mencapai prestasi tinggi, apalagi, dengan tata kelola serba kacau seperti sekarang, kecuali, jika semua suporter Timnas siap menerima kekalahan tanpa ada aksi anarkis.
Timnas memang kebanggaan kita bersama sebagai sebuah bangsa, tapi bukan berarti kita boleh lupa untuk tetap realistis dan mengkritisi kelemahan yang ada.
Dengan harapan, pembenahan menyeluruh bisa segera dilakukan, dan berdampak positif di masa depan. Tanpanya, prestasi hanya bisa diraih di alam mimpi.
Bisa?