Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Refleksi Natal

25 Desember 2017   01:44 Diperbarui: 25 Desember 2017   09:11 3112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Bicara soal Natal, kita semua sepakat, ini adalah hari besar, bagi umat Kristiani. Dengan statusnya sebagai hari besar, tiap tahunnya, Natal selalu berhasil menarik mereka, yang biasanya sering bolos ke gereja, untuk datang. 

Begitu juga, dengan para pelancong, yang kebetulan sedang berlibur. Yah, minimal, mereka setidaknya datang setahun sekali di hari besar keagamaan. Tak heran, gedung gereja sering tampak kelebihan kapasitas. Padahal, biasanya tak pernah begitu.

Saya sendiri, semasa kecil dulu menganggap Natal sebagai hari yang spesial; libur panjang, dan segala hal menarik lainnya. Ke gereja pun terasa berbeda, karena kali ini memakai baju, yang lebih bagus dari biasanya, dan gereja dijaga aparat keamanan lebih ketat dari biasanya. 

Satu-satunya hal yang kurang saya suka hanyalah, berangkat dari rumah lebih awal dari biasanya, agar tak kehabisan kursi. Pendek kata, Natal selalu bisa mengundang rasa takjub, dengan sedikit bumbu rasa jengkel. Karena, kali ini harus berangkat sangat awal.

Tapi, seiring berjalannya waktu, pelan-pelan muncul beberapa pertanyaan di pikiran saya. Pertama, mengapa ibadah Natal selalu penuh sesak (bahkan membeludak), kemana saja mereka selama ini? Kedua, mengapa Natal seolah jadi ajang "show off" rutin? Ketiga, apakah Natal itu (memang menjadi) sebuah paradoks rutin tahunan?

Oke, let me explain. Untuk pertanyaan pertama, keheranan utama saya, muncul pada jumlah jemaat, yang jumlahnya sampai beberapa kali lipat lebih banyak, dari ibadah mingguan rutin. Bahkan, supaya tak kehabisan kursi, orang rela datang lebih awal. 

Padahal, urutan liturginya tak jauh beda dengan minggu biasa. Inti kegiatannya sama; doa, menyanyikan lagu pujian keagamaan, pemberkatan, dan khotbah, yang selalu bicara soal kasih dan kebaikan. Satu-satunya pembeda adalah, ini hari Natal. Tak lebih tak kurang.

Ternyata, salah satu faktor penyebabnya adalah, Natal 'jaman now', dianggap sebagai panggung "show off" ideal. Banyak orang yang datang ke gereja saat Natal, dengan memakai kendaraan, dan pakaian lebih mewah dari biasanya. Bahkan, ada yang make up wajahnya begitu tebal. Ada juga, yang tampak (amat sangat) religius, mulai dari gestur tubuh, caption foto, sampai status media sosialnya. Padahal, di hari biasa, semua tampak serba biasa, sekenanya, alakadarnya.

Okelah, mereka bisa (dan boleh) beralibi, "Ini hari spesial, hari kelahiran Yesus Sang Juruselamat. Jadi, kita harus menghormatinya, dengan (minimal) tampil istimewa.". Secara estetika, alasan ini bisa diterima. 

Tapi, sebetulnya, sikap ini justru mengingkari salah satu makna utama Natal, yakni kesederhanaan. Karena, Natal selalu bercerita, tentang kelahiran Yesus yang serba sederhana; lahir (sebagai diriNya sendiri) di kandang domba, dan dibaringkan di palungan, bukan di istana berlapis emas.

Dari fenomena-fenomena 'musiman' di atas, Natal justru tampak menjadi sebuah panggung paradoks tahunan. Natal, yang sejatinya penuh ketenangan, justru tampak penuh ingar bingar. Natal yang sejatinya penuh kesederhanaan, malah jadi ajang pamer kekayaan. Natal, yang sejatinya apa adanya, malah jadi ajang pencitraan. Natal yang sejatinya apa adanya, justru tertutupi kepalsuan-kepalsuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun