Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Komedi Putar Arsenal

3 Desember 2017   23:29 Diperbarui: 4 Desember 2017   00:37 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika bicara soal Arsenal, kita semua sepakat, The Gunners adalah tim yang gaya mainnya enak ditonton. Keindahan gaya main Arsenal, tak lepas dari keberadaan sosok Arsene Wenger di pos pelatih. Wenger sendiri, sejak lama dikenal sebagai pengagum Johan Cruyff (Cruyffian/Cruyffista), sang master "Total Football" asal Belanda. Saat melatih Ajax dan Barcelona, Cruyff dikenal setia menerapkan sistem sepak bola indah. Salah satu prinsip utamanya; sepak bola indah diatas segalanya, hasil akhir nomor sekian.

Awalnya, Cruyffisme ala Wenger ini, sukses membuat Arsenal cukup disegani di Inggris, dan Eropa. Hal ini tak lepas, dari keberadaan pemain berkualitas, atau bermental pemimpin di tiap lini. Di posisi kiper, Arsenal sempat punya David Seaman, yang perannya diteruskan oleh Jens Lehmann. Di pos bek, ada Tony Adams, yang setelah pensiun digantikan Sol Campbell. Di lini tengah, kharisma plus kualitas Patrick Vieira, memimpin tim Gudang Peluru dengan mantap. Di depan, ketajaman Ian Wright, dan Thierry Henry sang penerus, selalu mampu mengiris pertahanan lawan.

Dengan modal itulah, Arsenal mampu menjadi pengganggu utama, dari dominasi Manchester United arahan Sir Alex Ferguson di EPL. Bahkan, mereka sempat mencetak sejarah, saat juara Liga Primer Inggris musim 2003/2004 tanpa terkalahkan. Tim ini, lalu dikenal dengan sebutan "The Invincible".

Sayang, setelahnya Arsenal justru cenderung menurun. Terutama setelah pemain kunci mereka (misal: Ashley Cole, Patrick Vieira, dan Thierry Henry) hengkang secara berurutan. Celakanya, kualitas pemain penggantinya kerap tak sepadan. Di pos kiper, Manuel Almunia akrab dengan blunder. Di belakang, William Gallas kerap cedera, begitu juga dengan Abou Diaby dan Tomas Rosicky. Belakangan, Santi Cazorla ikut menyusul. Di depan, Arsenal belum kunjung menemukan pengganti sepadan Thierry Henry. Mereka malah menemukan Nicklas "Lord" Bendtner, penyerang timnas Denmark yang "memegenic" itu.

Penurunan ini, membuat Arsenal turun kelas. Dari yang sebelumnya pesaing gelar juara, menjadi pemburu posisi 4 besar. Tujuannya, agar aliran kas klub tetap lancar, berkat tampil di Eropa. Maklum, Arsenal kala itu sedang dalam proses mencicil utang pembangunan Emirates Stadium. Utang ini sendiri, baru lunas tahun 2013.

Setelahnya, barulah Arsenal berani menerapkan kebijakan belanja satu pemain bintang tiap musim. Dimulai dari Mesut Ozil (2013), Alexis Sanchez (2014), Petr Cech (2015), Skhodran Mustafi (2016), dan Alexandre Lacazette (2017). Hasilnya, The Gunners sukses memenangkan 3 gelar Piala FA (2013/2014, 2014/2015, dan 2016/2017). Sayang, performa mereka di liga tetap stagnan. Bahkan, pada musim 2016/2017 lalu, mereka finis di posisi 5 EPL, rekor terburuk klub di era Arsene Wenger. Di sini, kehati-hatian mereka dalam berbelanja, terbukti sudah ketinggalan jaman. Karena, klub-klub EPL saat ini, cenderung agresif saat berbelanja.

Selebihnya, Arsenal tak ubahnya sebuah komedi putar, alias jalan di tempat. Karena, tiap musimnya, mereka memiliki siklus performa berikut di Liga; bagus di awal dan akhir musim, tapi kacau di pertengahan, terutama di laga "big match". Hal ini terlihat jelas, saat mereka kalah 1-3 dari tim tamu Manchester United, Minggu (3/12, dinihari WIB). Dalam laga itu, Arsenal yang mendominasi laga, hanya mampu mencetak satu gol dari Alexandre Lacazette. Sementara, United mampu bermain efektif, dan mencetak gol lewat Jesse Lingard (2), dan Antonio Valencia. Meskipun, di 15 menit terakhir laga, mereka kehilangan Paul Pogba yang dikartu merah wasit.

Melihat progres Arsenal, yang masih begitu-begitu saja, agaknya para Gooners akan kembali bersiap kecewa di akhir musim. Kecuali, jika langsung ada perbaikan performa secara drastis setelah ini. Di sini, seharusnya Wenger perlu segera menyadari, dan menepikan sejenak obsesinya akan sepak bola indah. Bagaimanapun, sepak bola adalah soal hasil akhir. Karena, sepak bola bukan sirkus, atau kontes kecantikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun