Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Dwi Hartanto dan Celah Budaya Kita

14 Oktober 2017   13:21 Diperbarui: 14 Oktober 2017   13:40 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari bintang menjadi pecundang. Itulah situasi yang saat ini menimpa Dwi Hartanto (DH), mahasiswa program doktoral, yang kuliah, di sebuah universitas di Belanda. Semua diawali dari klaim prestasinya yang tampak menyilaukan. Hasilnya, DH langsung populer dalam sekejap. Ia mendapat penghargaan dari Kedutaan Besar RI di Belanda, lalu diundang hadir ke acara talkshow di televisi. Di Indonesia, DH dipuji-puji masyarakat, bahkan dijuluki "The Next Habibie." DH benar-benar ketiban durian runtuh dari klaim prestasi, yang digemborkannya.

Tapi, ternyata itu semua hanya bohong belaka. Kehebohan masyarakat kita, yang tadinya memuji setinggi langit, berubah jadi banjir hujatan. DH lalu mendapati, penghargaan, yang didapatnya dicabut, mendapat sanksi akademis, plus sanksi sosial. Kali ini, situasinya berubah, dari panen durian runtuh, DH kini menuai hujan telur, dan tomat busuk, akibat kebohongannya terbongkar.

Meski ia lalu meminta maaf ke publik, semua sudah terlambat. Dunia kini sudah tahu siapa dia sebenarnya. "Bunuh diri" karakter, yang ia lakukan ini, benar-benar sudah menghancurkan dirinya sendiri. Jelas, kebohongan adalah sebuah tindakan bunuh diri karakter, bukan pembunuhan karakter. Karena, pada dasarnya, tindakan ini dilakukan oleh DH sendiri, lalu direspon masyarakat.

Sebetulnya, kasus yang menimpa DH ini, memperlihatkan salah satu 'celah', dalam budaya masyarakat Indonesia: sikap "overproud" (bangga berlebihan), dan reaksional. Celah budaya ini, rawan dimanfaatkan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, untuk mencari popularitas atau kesuksesan instan. Celakanya, kedua sikap ini sudah terlanjur membudaya.

Sudah jadi rahasia umum, kalau masyarakat kita mudah sekali bangga, pada prestasi-prestasi level internasional, atau segala hal yang berbau "internasional" tentang Indonesia. Bahkan, prestasi ini seolah jadi milik semua orang. Saking bangganya, semua hal terkait prestasi yang dicapai itu akan jadi topik bahasan di masyarakat luas, yang tak habis-habisnya dibicarakan. Malah, sikap bangga ini cenderung berlebihan, dan membudaya.

Parahnya, sikap bangga berlebihan ini, juga dibumbui sikap reaksional. Sering terjadi, masyarakat kita mudah mengomentari, atau memviralkan suatu informasi, meski informasi itu belum tentu benar. Parahnya lagi, sebagian masyarakat kita cenderung suka berkomentar, tanpa membaca, atau memahami konteks dengan benar.

Kombinasi dua sikap inilah, celah lebar budaya kita, yang dimanfaatkan DH, untuk 'mempromosikan' kebohongannya. Tak main-main, skala kebohongannya adalah internasional. Karena, selain merebak di Indonesia, kasus ini juga merebak di Belanda. Selain itu, kasus DH ini juga disorot dunia. Di sini, Indonesia malah mendapat malu, bukan rasa bangga, seperti yang terjadi sebelum kebohongan DH terbongkar.

Dari sisi DH, kebohongan yang dilakukannya ini, memperlihatkan bahaya berpikir instan, demi meraih prestasi atau pengakuan, secara cepat, dan mudah. Karena, dengan berpikir instan, seseorang akan menjadi tak hati-hati dalam bertindak. Kecerobohan ini baru akan disadari, saat semua sudah terjadi. Di sini, nasi sudah terlanjur menjadi bubur yang mengeras, tak bisa dikonsumsi, hanya bisa dibuang.

Dari sisi kita sebagai masyarakat, kasus DH ini sekali lagi mengingatkan, pentingnya bersikap cermat, dalam merespon suatu informasi. Supaya, tidak timbul kesalahpahaman yang menyesatkan. Selain itu, kasus ini kembali membuktikan, sikap bangga berlebihan, dan reaksional, hanya akan membawa malu, jika ternyata itu bohong. Alih-alih jadi kebanggaan, justru aiblah yang didapat. Kalau sudah begini, hanya sesal yang akan didapat. Memang, sesal selalu datang terlambat. Karena, kalau datangnya tak terlambat, itu bukan sesal, tapi sadar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun