Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semoga Tsamara Tidak Membaca Cuitan Ngawur Fahri

27 September 2017   11:24 Diperbarui: 27 September 2017   21:57 4921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prestasi kerja KPK dalam bulan September ini sangat menggembirakan. Di saat mereka terus disudutkan oleh Pansus hak angket DPR, operasi tangkap tangan (OTT) para pejabat "berpangkat" koruptor makin meningkat. KPK tengah mempraktekkan makna peribahasa, "anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu".

Seolah berkata kepada Pansus dan DPR, "silakan omong banyak, mencemooh, kami tak peduli. Kami mau melaksanakan tugas kami menangkap para pencuri uang rakyat. Sekarang, kami tangkap para kepala daerah dan beberapa pejabat pencuri sebelum menghilangkan jejak. Sebentar lagi, kalau bukti sudah cukup, akan tiba giliran kalian anggota Pansus dan DPR yang banyak omong."

Bagi saya, jika KPK berkata begitu, sangat beralasan. Penangkapan beberapa kepala daerah lewat OTT secara beruntun pada September 2017 merupakan bukti yang tak terbantahkan. Sampai bulan September 2017, lewat OTT ada setidaknya lima kepala daerah dan beberapa pejabat lain, termasuk penegak hukum yang diciduk KPK karena korupsi. Pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya (Kompas.com).

Di antaranya yang terjaring OTT ialah Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen. dan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Aryadi, serta Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan, Madura terjaring OTT bersama bupati, dua pegawai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang salah satunya adalah panitera pengganti, dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla), Antonius Tonny Budiono alias ATB. Ini belum termasuk Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang barusan ditetapkan sebagai tersangka menerima suap dan gratifikasi terkait izin tambang.

Yang membuat publik tertawa ialah tertangkapnya pimpinan DPRD Kota Banjarmasin, Iwan Rusmali, kader Golkar bersama empat orang lainnya dalam OTT saat Presiden Jokowi berada di Kalsel dalam rangka kunjungan kerja 15 September 2017. Sebagai anggota dewan, semestinya turut menyibukkan diri untuk mengurus kedatangan Presiden Jokowi. Ehhh malahan dia memakai kesempatan itu untuk melakukan transaksi korupsi. Dia kira KPK bisa dikibuli dengan memanfaatkan situasi keramaian atas kedatangan presiden.

Inilah yang sangat diapresiasi oleh Jokowi terhadap KPK. "Ya memang kalau ada bukti, ada fakta-fakta hukum di situ, saya kira bagus," kata Jokowi saat melakukan peninjauan ke Pasar Baru, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Diberikannya apresiasi kepada KPK, bukan saja karena nilai uang yang dapat diselamatkan lewat OTT, tetapi tingginya presisi deteksi mereka atas gerak gerik para pencuri itu dengan berbagai modus dan pada saat mereka tengah digoyang oleh Pansus hak angket DPR. Kalau saja mereka terpengaruh dari rongrongan Pansus, bukan tidak mungkin pekerjaan mereka terganggu dan para koruptor akan bertepuk tangan.

Pembohongan publik?

Prestasi KPK tersebut ternyata dinilai terbalik oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah. Bagi dia, apa yang dilakukan KPK dengan OTT merupakan skandal yang menipu rakyat paling besar di Indonesia. Bukan hanya tak berdasar, ilegal, tetapi bertentangan dengan undang-undang dan hukum di Indonesia, tulis Fahri di akun twitternya sebagaimana diberitakan media.

Karena membohongi publik, Fahri meminta para cendekiawan tidak ikut-ikutan menipu rakyat dengan membangun mitos tentang KPK. 

Mengapa ia bisa sampai berpikir begitu? Ternyata alasan Fahri terletak pada istilah "tangkap tangan" dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan KPK. Pertama, ia berkilah bahwa dalam UU KPK, istilah "tertangkap tangan" tidak ada. Hanya ada dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Yang ada dalam UU KPK, katanya, hanya istilah "penangkapan" sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 20 KUHAP.

Kedua, ia menilai bahwa tertangkap tangan yang dilakukan KPK berbeda dengan yang digariskan dalam ketentuan KUHAP. Menurut definisi KUHAP peristiwa tertangkap tangan haruslah terjadi pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu seperti diatur pada Pasal 1 angka 19 KUHAP.

Itu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan KPK. "Bagaimana disebut 'tertangkap' padahal diintai berbulan-bulan dan menyimpang dari makna asal.#TerTipuOTT," tulisanya dalam akun twitetrnya (Jawa Pos).

Mungkin karena terlalu sibuk omong atau karena memang tak paham hukum, atau makin gelisah karena KPK makin gencar menunjukkan kualitasnya yang melebihi kualitas DPR, Fahri tidak bisa berpikir normal lagi. Ilusinya tentang keburukan KPK dia anggap nyata, fakta. Inilah yang terus dia umbar ke publik. Ia sama sekali tak sadar bahwa ia makin ngawur. 

Ia tidak paham bahwa hukum acara yang berlaku pada KPK adalah KUHAP juga. Dalam kondisi pikirannya yang lagi galau, Fahri mungkin tak sempat membaca, atau ia memang membaca tapi gagal mengerti maksud pernyataan Pasal 38 ayat (1) UU KPK bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.

Perkecualiannya hanya pada Pasal 38 ayat (2) yang menegaskan, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini." Inilah yang barangkali belum dibaca atau mungkin tidak dipahami oleh Fahri sehingga ia sangat bersembangat mengatakan bahwa KPK tidak memiliki dasar hukum OTT.

Kalau saja ia menyempatkan diri diskusi dengan mahasiswa semester I Fakultas Hukum, ia pasti diberi informasi bahwa semua istilah dan makna yang ada dalam KUHAP terkait dengan tertangkap tangan, penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan acuan, dasar hukum, prosedur kerja KPK.

Para mahasiswa pasti akan menjelaskan kepada Fahri bahwa jika KPK melakukan tindakan di luar ketentuan KUHAP, maka KPK melanggar hukum. KPK wajib tunduk dan bekerja menurut ketentuan KUHAP. Jika nekat seperti jalan pikiran Fahri, maka siapa pun, termasuk mereka yang terjaring OTT, dapat melakukan perlawanan secara hukum dengan praperadilan seperti yang dilakukan sahabat kentalnya Setya Novanto.

Saya harap cuitan Fahri itu atau beritanya di berbagai media tidak sampai dibaca Tsamara Amany. Kalau sempat ia baca dan waktunya lagi lowong, saya sangat khawatir Fahri akan "dicukur" habis oleh Tsamara. Atau mungkin Tsamara akan memberi Fahri "permen" yang kembali membuat Fahri terkencing-kencing di tempat duduknya sehingga tak berani menatap wajah cantik Tsamara.

Kalau itu terjadi, kasihan Wakil Ketua DPR RI, bukan?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun