Mohon tunggu...
Yorri Kusuma Nugraha
Yorri Kusuma Nugraha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staff di Dinas Perhubungan DIY

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Optimalisasi Layanan Angkutan Massal BRT (Bus Rapid Transyt)

7 November 2012   07:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan masyarakat modern, kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan yang sangat penting. Sedemikian pentingnya hingga seolah-olah dewasa ini, kebutuhan akan transportasi tak ubahnya seperti kebutuhan primer. Mengapa demikian? Karena dalam rangka memenuhi kebutuhannya yang mendasar sekalipun, manusia zaman sekarang tidak akan mampu memenuhinya jika ia hanya berdiam di rumahnya saja. Mengutip teori Abraham Maslow, psikolog aliran humanistik dari Amerika Serikat, bahwa kebutuhan dasar (basic need) manusia terdiri dari lima tingkat, dari yang terbawah yaitu kebutuhan fisiologis (pangan,sandang,papan); kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk membentuk relasi sosial; kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya di masyarakat. Dengan adanya keterbatasan ruang, waktu, kemampuan dan sumber daya individual lainnya, menuntut manusia untuk melakukan aktivitas perjalanan atau gerak perpindahan ruang dengan menggunakan moda transportasi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Seiring tingkat pertumbuhan populasi manusia yang cenderung terus meningkat, maka kebutuhan akan transportasi tentunya turut meningkat pula. Saat ini kita telah mengenal macam moda transportasi, baik kendaraan pribadi dan transportasi umum. Yang menjadi masalah di mayoritas perkotaan Indonesia saat ini adalah ketimpangan yang sangat jauh antara penggunaan kendaraan pribadi dengan transportasi umum. Survei dan penelitian yang dilakukan dimanapun di Indonesia selalu menunjukkan bahwa pengguna kendaraan pribadi jauh melampaui pengguna transportasi umum. Untuk DKI Jakarta misalnya, penggunaan ruang jalan oleh angkutan umum berkisar sekitar 15%, 85% lainnya oleh kendaraan pribadi (Edo Rusyanto, 2012), sementara di Yogyakarta sendiri, penggunaan ruang jalan oleh angkutan umum berada di angka 35%, namun angka tersebut bisa dipastikan akan terus turun seiring dengan keengganan masyarakat menggunakan angkutan umum dan lebih memprioritaskan penggunaan kendaraan pribadi.

Kita tentunya sudah paham bahwa kapasitas angkut kendaraan pribadi jauh dibawah kapasitas angkut angkutan umum. Ekses yang ditimbulkan dari kondisi ini adalah kapasitas atau ruang jalan yang menyempit, tingkat kemacetan yang parah, pencemaran lingkungan meningkat, pemborosan waktu dan tenaga di jalan serta tingkat stress masyarakat yang tinggi akibat hambatan yang tinggi dalam melakukan perjalanan. DKI Jakarta sudah diprediksi akan macet total antara 2014 jika tidak berhasil mengatasi kemacetan dalam rentang waktu dua tahun ini. Yogyakarta juga sudah mengalami peningkatan intensitas kemacetan, utamanya di seluruh persimpangan koridor jalan-jalan protokolnya (Radar Jogja/ 28 April 2014). Kota-kota lain juga dipastikan juga akan menghadapi permasalahan yang sama jika gagal melakukan kerja pembenahan angkutan umumnya.

Saat ini di Indonesia telah ada tigabelas kota yang mengoperasikan moda transportasi umum BRT (Bus Rapid Transyt) sebagai bentuk transportasi massal yang berbasis jalan, seperti DKI Jakarta, Palembang, Semarang, Yogyakarta dan Manado. Sesuai dengan namanya, moda transportasi ini berbentuk bus yang diklaim memiliki kualitas layanan yang lebih baik dari angkutan reguler lainnya. Klaim ini muncul karena dalam praktek pelaksanaannya, sejak proses kelahiran hingga operasionalnya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah, biasanya oleh instansi yang membidangi sektor perhubungan, yang relatif lebih besarpada masing-masing daerah domisili layanan BRT tersebut. Ini berbeda dengan model angkutan reguler, dimana pemerintah hanya memfasilitasi perizinan dan menentukan skala besaran tarif tanpa memantau atau mengevaluasi operasional pelayanan kepada masyarakat.

Adanya peran pemerintah yang lebih besar ini ditujukan untuk perbaikan manajemen penyelenggaraan angkutan umum sehingga mampu meningkatkan animo masyarakat luas untuk melakukan alih moda transportasi dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Jika masyarakat yang melakukan alih moda kian bertambah maka diharapkan persoalan kemacetan dan tingkat pencemaran udara juga akan berkurang. Ini adalah rata-rata visi dari layanan BRT.

Namun demikian, dalam perjalanan operasional layanan BRT, harus ada kajian kembali apakah fitur layanan yang ada telah benar-benar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi umum yang aman, nyaman dan terjangkau. Ketiga faktor ini yang selalu saja muncul jika kita mempertanyakan penyebab keengganan masyarakat memanfaatkan transportasi umum.

Ada tiga model BRT di Indonesia yang secara umum dijadikan preferensi atau rujukan sebagai bentuk BRT yang mendekati ideal yaitu Trans Jakarta, Trans Musi Palembang dan Trans Jogja. Dari penelusuran penulis sebagai orang “air asin” atau pelaku sektor perhubungan, secara pencitraan layanan, memang benar bahwa persepsi masyarakat tentang eksistensi layanan BRT di kota mereka adalah positif. Bagaimanapun, mayoritas masyarakat kita sebenarnya menyadari bahwa naik angkutan umum lebih nikmat dibandingkan kendaraan pribadi asalkan kualitas pelayanannya baik. Tapi ternyata, pencitraan yang positif ini belum cukup efektif untuk mendorong masyarakat ramai-ramai menggunakan BRT karena moda BRT yang ada dianggap belum maksimal terkait dengan waktu tempuh, kuantitas armada dan fasilitas pendukung.

Ada sementara anggapan bahwa BRT yang ideal adalah seperti Trans Jakarta karena telah memiliki jalur khusus (busway) sehingga waktu perjalanan lebih cepat. Anggapan ini tidak salah namun harus diingat bahwa mayoritas kota Indonesia tidak memiliki infrastruktur jalan seperti Jakarta sehingga operasional BRT masih bercampur dengan lalu lintas umum (mix traffic) sehingga kadang dianggap tidak ada bedanya dengan angkutan reguler. Wacana lain untuk mengoptimalkan layanan BRT adalah penambahan trayek dan jumlah armada, namun ini pastilah membutuhkan investasi publik yang sangat besar.

Untuk dapat membuat animo masyarakat menggunakan BRT meningkat walaupun tidak memiliki jalur khusus, maka ada beberapa langkah yang ditempuh.

Yang pertama adalah mengeliminasi hambatan samping (side friction) atau kondisi sekitar bahu jalan yang biasanya menghambat perjalanan BRT yang tidak memiliki jalur sendiri. Hambatan tersebut berupa parkir liar, okupansi oleh pedagang kaki lima (PKL) atau papan reklame liar. Jika eliminasi atas hambatan samping ini dapat dilakukan, maka dapat meningkatkan efisiensi waktu perjalanan BRT karena hilangnya potensi kemacetan dan mampu menciptakan ketertiban lalu lintas. Memang harus diakui bahwa prakteknya cukup rumit dan tidak cukup dijelaskan dalam satu tulisan ini karena memerlukan kohesivitas faktor sosial politik dan kebijakan multi-stakeholder, namun dari beberapa kali kajian oleh konsultan asing berdasarkan pengalaman dinegara lain, rekomendasi eliminasi hambatan samping ini selalu saja muncul. Selama ini penertiban parkir ataupun PKL lebih identik dengan orientasi keindahan wajah kota, maka untuk kota yang memiliki BRT, perlu ada redefinisi orientasi untuk keberpihakan kepentingan yang lebih besar dari sekedar memperindah wajah kota, yaitu demi kelancaran layanan BRT.

Kedua adalah pemberlakuan prioritas bagi BRT dalam hal kemacetan. Untuk kasus di DIY atau kota lain misalnya, pengalihan jalur lalu lintas karena kelebihan kuantitas kendaraan di ruas jalan utama perkotaan adalah hal biasa saat musim liburan sekolah atau hari raya, namun semestinya tetap ada prioritas bagi BRT untuk tetap melintas. Alasan BRT layak mendapat prioritas karena pendanaan operasionalnya tidak lepas dari anggaran publik baik itu untuk armada kendaraan, sarana prasarana dan kebutuhan pendukung lainnya sehingga BRT benar-benar adalah milik masyarakat, bukan seperti angkutan reguler yang umumnya dimiliki pihak swasta apalagi kendaraan pribadi. Adanya prioritas bagi BRT ini akan menjadi jaminan bagi masyarakat bahwa sekalipun ada pengalihan jalur di musim liburan, mereka tetap bisa mencapai tujuannya dan tidak perlu diturunkan di tempat yang tidak semestinya. Sebab bagaimanapun harus disadari bahwa mayoritas titik tujuan utama masyarakat dalam melakukan perjalanan pastilah berada di ruas jalan utama tersebut.

Ketiga adalah peningkatan aksesibilitas atau titik akses masyarakat terhadap layanan BRT. Moda BRT yang baik tidak sepatutnya menaikturunkan penumpang di sembarang titik seperti angkutan reguler sehingga dengan demikian perlu kuantitas halte yang merata. Jarak antar halte BRT yang ideal menurut standar Kementerian Perhubungan adalah 400 meter. Pada saat ini, jika untuk membangun bangunan halte yang masif dianggap sulit karena keterbatasan lahan, maka dapat digantikan titik perhentian bus portabel (portable bus stop). Dimensinya lebih ringkas dibandingkan halte BRT konvensional sehingga lebih fleksibel karena tidak membutuhkan luas lahan yang relatif besar dan konstruksi semasif halte. Adanya fasilitas titik akses yang merata ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mengakses layanan BRT karena dapat dicapai dengan lebih dekat, baik dari tempat tinggal atau tempat kerja mereka.

Keempat adalah pembangunan fasilitas park and ride. Fasilitas ini sebenarnya juga merupakan titik akses layanan BRT hanya saja segmennya adalah para pemilik kendaraan pribadi, utamanya penglaju. Biasanya dibangun di titik transit batas kota dalam lingkungan terminal, halte, stasiun ataupun berdiri sendiri sehingga kapasitasnya dapat lebih besar. Fasilitas ini penting agar para penglaju bersedia sejenak meninggalkan kendaraan pribadinya dan berganti moda transportasi umum. Pola ini telah sukses diterapkan di kereta api Jabodetabek. Para penglaju disana bersedia meninggalkan kendaraan pribadinya di fasilitas park and ride yang disediakan pihak stasiun untuk selanjutnya meneruskan perjalanan dengan kereta api komuter. Adanya fasilitas park and ride ini cukup efektif untuk mengurangi kuantitas kendaraan yang masuk ke jalan-jalan kota.

(Yorri Kusuma N,SIP. Staf Dinas Perhubungan Komunikasi & Informatika Provinsi DIY)

Note : telah dimuat di majalah CityInfo edisi bulan Oktober 2012

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun