Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Perang: Taktik Lelembut bikin Kembut (2)

12 Juni 2020   12:01 Diperbarui: 12 Juni 2020   12:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah memperoleh izin dari komandan, tepat jam 18 di sore hari kala pintu benteng ditutup dan semua tentara sudah harus kembali ke dalam benteng. Sersan ini tetap tinggal di luar dan bersembunyi di belakang hutan rimba.

Jam 19 kala hari sudah mulai gelap, sang sersan keluar dari tempat persembunyiannya. Diam-diam sembari bersembunyi, sersan telah sampai di pinggir hutan. Dalam waktu satu jam lagi, ia akan tiba di dekat rumah jaga orang Aceh.

Penulis juga menceritakan bahwa model rumah di Aceh adalah rumah panggung. Rumah Aceh ini dibangun cukup tinggi karena sering dilanda banjir besar. Di kolong rumah bertiang tinggi ini, sersan tersebut bersembunyi.

Tidak beberapa lama kemudian, kira-kira 30 orang Aceh mendatangi rumah tersebut sambil membawa senjata. Setelah menaiki tangga, mereka duduk di pinggir dinding di ruang tamu. Karena susunan bambu lantai rumah tidak begitu rapat, sersan yang bersembunyi di bawah rumah dapat melihat keadaan di dalam.

Di antara orang-orang yang tengah berkumpul, ada satu orang berpakaian putih menggunakan surban sutera kira-kira berumur 40 tahun, wajahnya brewok dan rupanya sangat mirip orang Arab. 

Di ikat pinggangnya ada klewang (pedang panjang) bertahta emas dan intan, di sisi sebelahnya ada satu revolver (pistol). Di tangan kanannya, pria berpakaian putih ini memegang tasbih sementara tangan kirinya memegang mushaf.

Setelah menghitung orang yang hadir di rumah tersebut, pria berpakaian putih ini memulai pembicaraan. Sersan yang menyimak pembicaraan di dalam rumah segera mengetahui kalau pria ini menyuruh semua orang Aceh untuk berkumpul di mesjid jam 01 malam itu. Sersan juga mendengar bahwa pria ini akan memperlihatkan sebuah tempat di mana terdapat banyak senjata. 

Sersan berpandangan bahwa yang dilihat teman-teman tentara bukanlah hantu melainkan mata-mata sekaligus menyimpan senjata di kuburan. Kemudian orang-orang Aceh yang berkumpul di dalam rumah dipandu oleh pria berpakaian putih melakukan zikir sembari memukul dada.                     

Merasa telah mendapat informasi yang memadai, sersan segera meninggalkan rumah tersebut dan kembali ke benteng. Kira-kira 200 meter dari benteng, dia memberikan isyarat ke pos jaga dengan menirukan suara burung. Dari benteng, si penjaga merespons sambil membukakan pintu.

Segera setelah sersan melaporkan apa yang dia lihat dan dengar dari rumah tersebut, komandan memerintahkan semua tentara untuk berbaris dan menyampaikan perihal yang diceritakan sersan. Opsir penulis buku menyebutkan:

"Sekarang orang-orang baroe mengarti jang boekan setan itoe tetapi pengintip. Opsier-opsier pikirannja tentoe itoe tempat dimana itoe setan selamanja dilihat, di sitoe djoega di simpan sendjata-sendjata; bagitoe djoega pikirannja si-sersan. Sebab itoe dija minta permisie akan periksa betoel itoe tempat koeboeran."

Dirasa masih ada waktu sebelum jam 01 malam, jam 11 malam itu sersan bersama dengan beberapa tentara pemberani pergi ke luar benteng dan berjalan sembunyi-sembunyi menuju areal perkuburan yang diduga sebagai tempat penyimpanan senjata. Dengan hanya berbekal kapmes (pisau pemotong seperti parang dalam istilah Belanda), mereka memeriksa tanah kuburan. 

Setelah setengah jam menelusuri areal perkuburan, hasilnya tetap nihil. Saat sersan sudah mengumpulkan kembali anak buahnya untuk pulang ke benteng, ada seorang tentara terjatuh dalam sebuah lubang dengan kedalaman hingga sepinggang. Seketika sersan berpikir mungkin ini tempat munculnya lelembut yang telah menakuti seisi benteng yang sebenarnya menjadi tempat orang Aceh menyembunyikan senjata. Selanjutnya opsir pengarang buku menyebutkan:

"Sebentar orang membikin beresih itoe loebang, lantas kalihatan soewatoe lobang kira-kira satoe elo satengah dalamnja."

Lubang itu tadinya ditutup dengan bambu, di atas bambu ditutupi lagi dengan alang-alang. Dibantu penerangan bersumber dari lampu kecil berbentuk lentera, lubang kecil itu lantas diperiksa. 

Di dalam lubang dijumpai sejumlah klewang, tombak, senapan, peluru dan bubuk mesiu. Lubang ini adalah bekas tempat penyimpanan alat-alat untuk bekerja di sawah. Selain itu, ditemukan pula, senjata-senjata yang dirampas dari patroli Belanda. Semua barang-barang tersebut dikeluarkan dari lubang dan dibawa ke benteng.

Di dalam benteng, para tentara siap siaga. Penjaga di pos ditambah, peluru dan bubuk mesiu serta peluru kembang api disiagakan di bastion, ember dan ketel disiapkan di muka gudang obat dan gudang ransum guna mengantisipasi kebakaran. Perempuan dan anak-anak dikumpulkan di tempat yang lebih aman.

Pada jam 01 malam, sekilwak (pengawal yang berjaga di depan benteng) diperintahkan bersembunyi di belakang tembok, petugas meriam disuruh tiarap di belakang meriam. Benteng tersebut memiliki dua bastion. Setiap bastion dilengkapi satu meriam.  

Pada jam 01.30, situasi di sekeliling benteng senyap. Sekilwak dan opsir mengamati keadaan di luar benteng, namun tidak kunjung mendapati dan mendengar sesuatu, hanya terdengar bunyi angin dan pancuran air.

Pada jam 02, dari dalam hutan terdengar suara teriakan demikian juga di sekeliling benteng. Opsir menulis:

"Djam poekoel duwa baroe kadengaran beterejak di dalam hoetan; sebentar kiri kanan kedengaran beterejak djoega. Sebentar lagi kedengaran seperti soewaranja beriboe-riboe tawon."

Sejumlah orang Aceh terlihat berjalan mengendap di dekat benteng guna memeriksa keadaan. Namun, orang di benteng tetap diam sembari menunggu perintah.

Benteng ini hanya bisa diserang dari dua tempat. Sebelah barat dan selatan terdapat air. Sementara pintu benteng berada di utara. Tentu dari arah sana orang-orang mencoba masuk.

Sesaat lonceng dibunyikan pada jam 02, tampak lelembut muncul dari kuburan. Namun, kali ini ia disertai banyak orang. Seketika itu peluru kembang api ditembakkan untuk menerangi areal perkuburan. Saat itu terlihat banyak sekali orang Aceh yang bergerak maju hingga mendekati tembok.

Orang-orang Aceh yang menyadari bahwa tempat persembunyian senjata mereka telah diketahui menjadi sedikit gentar. Namun, karena masih banyak yang membawa senapan, orang Aceh kembali maju ke benteng.

Akan tetapi perasaan takut masih meliputi orang Aceh bahkan di sebelah timur pejuang Aceh mundur. Opsir Belanda menulis:

"Di sini sana kentara orang moelai djadi takoet sedikit, di sebelah wetan orang Atjeh soedah moelai moendoer."    

Pria berpakaian putih yang dilihat oleh sersan di rumah Aceh memimpin lebih dari 300 pejuang Aceh. Bersama-sama mereka mencoba merangsek masuk bersenjatakan klewang, senapan dan tombak dengan semangat fi sabilillah. Suasana terang oleh peluru kembang api membuat wajah pejuang Aceh kelihatan jelas. Penulis buku ini menggambarkan:

"Sebab terang orang boleh lihat roepanja orang Atjeeh itoe. Wah, roepanja seperti orang tida takoet mati, seperti orang mengamok. Tentoe tida satoe orang soldadoe nanti di kasih ampon oleh orang Atjeh."

Digambarkan pula suasana perang di benteng seperti tertulis:

"Benteng itoe seperti goenoeng api. Di sini kedengaran senapan, di sana merijam, di sana lagi boenji selompret, wah, riboet betoel." 

Ada seorang pejuang Aceh terkena ranjau akibat terlalu berani maju, tubuhnya tersangkut kawat. Dari luar, pejuang Aceh melempar api ke dalam benteng, hampir gudang obat ikut terbakar. Beberapa saat kemudian, pejuang Aceh mundur. Opsir Belanda menyebutkan hal ini dikarenakan mereka sudah letih berperang seperti dituturkan dalam bukunya:

"Moesoeh itoe roepanja sekarang soedah tjapej; kiri kanan dija soedah moelai moendoer."

Namun, di sebelah utara banyak pejuang Aceh yang mencoba masuk dengan mendobrak pintu benteng. Komandan memerintahkan untuk mempertahankan dan menghadang mereka di sana, akibatnya banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Pejuang Aceh terus merangsek masuk, mencoba mengambil brajak (saya belum mengetahui arti brajak) di depan pintu benteng namun masih gagal.

Tidak lama kemudian, pejuang Aceh mundur. Kira-kira jam 05 pagi, terdengar bunyi terompet kompeni, pertanda datang pertolongan. Kedatangan mereka disambut sorak sorai dari para tentara di dalam benteng. 

Ketika pintu benteng dibuka guna menyambut kedatangan bala bantuan, para tentara mendapati jasad pria berpakaian putih. Tangannya masih menggenggam klewang sementara tangan satunya lagi memegang brajak, kepalanya disender di pinggir brajak, matanya melihat ke pintu sementara dadanya berlumuran darah terkena tembak.

Sersan pemberani yang mendatangi rumah orang Aceh memperoleh bintang Tanjung. Sebelumnya ia telah beberapa kali mendapat tanda jasa. Dalam pertempuran memperebutkan sebuah benteng di Aceh, sersan ini tewas. Di kalangan militer Belanda, nama dan keberanian sersan ini tidak dilupakan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun