Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sandera WNI, ISIS Ingin Perluas Medan Tempur

12 Juli 2016   18:08 Diperbarui: 12 Juli 2016   19:10 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kelompok Abu Sayyaf yang berbasis di Pulau Sulu, Filipina Selatan, untuk ke empat kalinya menyandera sejumlah warga negara Indonesia. Dari kejadian terakhir di mana dari tujuh ABK di atas kapal penangkap ikan berbendera Malaysia, hanya WNI yang disandera sementara warga negara lain dibebaskan- menimbulkan tanda tanya sejumlah pihak termasuk Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Mengapa Abu Sayyaf hanya mengincar WNI?

Lemahnya diplomasi Indonesia dan minimnya tindakan militer dalam kasus pembebasan 10 ABK kapal pandu Brahma 12 dan kapal tongkang Anand bermuatan batu bara yang disandera kelompok Abu Sayyaf, akhir April lalu, dituding sebagai penyebabnya. Guyuran uang tebusan- meski sejumlah pihak menyangkal, menjadi daya tarik luar biasa bagi para penyandera. Pemerintah Indonesia pasrah pada konstitusi Filipina yang melarang militer asing melakukan operasi di wilayahnya. Pemerintah Indonesia kehilangan akal untuk menekan Filipina. Fakta bahwa Filipina sangat bergantung pada pasokan batu bara dari Indonesia tidak bisa dimanfaatkan untuk memaksa Filipina menandatangani satu perjanjian yang memungkinkan dilakukannya operasi militer gabungan antar kedua negara.

Dengan memberikan uang tebusan- atas nama keselamatan sandera, jelas melemahkan posisi Indonesia. Harga diri sebagai bangsa berdaulat langsung jatuh ke titik nadir ketika pemerintah Indonesia “merestui” membayar uang tebusan untuk pembebasan sandera. WNI pun menjadi sasaran empuk teroris untuk menangguk uang. Bahkan dalam kasus di atas kapal ikan berbendera Malaysia, para penyandera secara terang-terangan menyampaikan pesan yang sangat melecehkan Indonesia karena hanya tiga ABK berpaspor Indonesia yang diambil, sedangkan sisanya dibebaskan.

Namun ada juga pendapat yang menyebut, kelompok Abu Sayyaf memilih WNI bukan atas dasar uang tebusan, melainkan terkait strategi perang. Islamic State in Iraq and the Levant atau Syria (ISIS) menginginkan wilayah Indonesia sebagai basis perjuangannya. Keinginan itu semakin kuat mengingat jumlah tentara ISIS asal Indonesia terus meningkat. Mereka dikenal memiliki semangat juang tinggi dibanding serdadu asal negara lain. Sejumlah tentara ISIS asal Indonesia juga sudah disebar di daerah Sulu yang dikuasai kelompok Abu Sayyaf. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu kelompok Abu Sayyaf sudah berbaiat kepada ISIS.

Dengan menguasai Indonesia, akan memudahkan ISIS untuk mencapai cita-cita besarnya membentuk kekhalifahan tanpa sekat-sekat wilayah bernama negara. Bagi ISIS, batas-batas negara yang ada saat ini dibuat oleh pengikut thogut. Salah satu cara yang dipakai ISIS adalah memancing militer Indonesia masuk ke pertempuran internasional.

Tentu saja, Abu Sayyaf akan dengan mudah dikalahkan oleh militer Indonesia yang memiliki kemampuan tempur kelas dunia. Dan itu yang memang dimaui ISIS. Mereka akan mem-blow up dampak serangan itu untuk membakar semangat kader dan simpatisan ISIS. Eskalasi kekerasan akan meningkat dratis dan ujung-ujungnya simpatisan ISIS dari negara-negara lain masuk ke Indonesia sebagai ladang jihad baru sesuai perspektif mereka.

Dalam kondisi seperti itu, langkah mana yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Pendapat kedua masih sebatas analisa dan dampaknya juga belum tentu sebesar itu. Sementara jika Indonesia kembali menyerah pada tekanan panyandera dengan kembali memberikan uang tebusan, dampaknya sudah pasti yakni terancamnya keselamatan WNI di luar negeri sebagaimana tiga WNI yang diculik dari perairan Malaysia. Indonesia pun akan kehilangan harga diri sebagai bangsa berdaulat karena menyerah pada tekanan teroris.

Pemerintah harus berani mengambil opsi tindakan militer. Larangan pelibatan militer asing dalam konstitusi Filipina, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk memilih opsi di luar operasi militer. Indonesia harus mampu meyakinkan pemerintah Filipina untuk melonggarkan aturan tersebut melalui suatu kerjasama militer. Terlebih Presiden Rodrigo “Digong” Duterte dikenal tidak mau kompromi dengan kelompok penjahat- termasuk teroris.

Kini harapan besar ada di pundak Presiden Joko Widodo. Jika Jokowi beranishow of force di atas kapal perang di perairan Natuna untuk menggertak pemerintah China, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap kelompok Abu Sayyaf?

Salam @yb

Tulisan terkait :Uang Tebusan Sandera dalam Perspektif Harga Diri Bangsa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun