Hal itu tidak terlepas dari adanya pihak terorganisir yang memanfaatkan buzzer untuk mempertajam pertentangan nasionalis --agama dengan mencuatkan isu-isu sensitif, melakukan agitasi melalui media sosial, dengan tujuan meraih kemenangan politik.
Salah satu caranya dengan mengelu-elukan satu kelompok sebagai penjaga negara, sambil menempatkan kelompok lainnya sebagai perusak. Mereka memanfaatkan peristiwa terorisme sebagai alat untuk mendiskreditkan politik berbasis agama. Â
Mereka tidak peduli jika isu yang diangkat sangat sensitif dan berpotensi menggoyahkan sendi-sendi berbangsa. Sebab mereka menikmati keuntungan elektoral dari masifnya pertentangan di tengah masyarakat hingga ruang keluarga. Â
Kelompok ini akan terus melanggengkan pertentangan dan tidak selesai dengan duet Ganjar-Anies karena itu bukan tujuannya.
Terlebih Ganjar bukan representasi kaum nasionalis dalam konteks pertentangan saat ini. Anies pun bukan tokoh utama dalam isu politik agama.
Silakan buktikan, sekali pun Anies dicapreskan oleh PDIP, atau Ganjar dicalonkan oleh PKS, pertentangan nasionalis dan agama tidak menjadi reda.
Akan ada tokoh lain yang dijadikan "musuh bersama" untuk meneruskan pertentangan nasionalis -- politik agama.
Mari kita lihat masuknya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kabinet sebagai perbandingan.
Awalnya, Prabowo ditempatkan sebagai pengangon kelompok politik agama. Dengan demikian masuknya Prabowo yang menjadi lawan Jokowi (nasionalis) di dua gelaran pilpres terakhir, dianggap bisa menyudahi pertentangan nasionalis-agama.
Faktanya, seperti kita lihat dan rasakan sekarang, jauh panggang dari api. Pertentangan justru semakin menjadi-jadi dengan mengusung narasi yang lebih "barbar".
Jangan mengatakan politik berbasis agama bertentangan dengan Pancasila. Bukankah PPP, PKB, PKS, PAN serta (dulu) PDS, menggunakan platform agama dan diakui eksistesinya oleh negara, bahkan ikut pemilu?