Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ini Dampak Jika Omnibus Law Ciker Disahkan

18 Februari 2020   14:26 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:26 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkumham Yasonna Laoly. Foto: KOMPAS.com/Tsarina Maharani

Draf  Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Ciker) menui kritik dari berbagai pihak termasuk buruh, pers, hingga kepala daerah. Kini muncul kekuatiran baru dengan adanya pasal yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah.

Kalangan buruh menolak karena RUU Ciker karena antara lain mempermudah PHK, hilangnya pesangon dan "melegalkan" outsourcing. Di sisi lain, banyak pasal yang memanjakan pengusaha karena antara lain meniadakan pasal pidana bagi pengusaha nakal.

Sementara kalangan pers menolak campur tangan pemerintah terkait modal asing, melipatgandakan denda dan sanksi bagi perusahaan pers yang dianggap melanggar karena dianggap mirip pola yang dipakai Orde Baru untuk membatasi bahakn membredel pers melalui pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Sejumlah kepala daerah, termasuk Wali Kota Bogor Bima Arya dan juga aktivis lingkungan menolak hilangnya kewajiban izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). 

Hilangnya kewajiban ini akan berdampak pada kesemrawutan bangunan dan kerusakan lingkungan.

Kini diketahui ada hal yang secara politik sangat berbahaya dalam draft UU Ciker yakni adanya kewenangan pemerintah untuk merevisi UU. 

Ketentuan tersebut terdapat di pasal 170 ayat 1. "Orang" pemerintah, termassuk  Menko Polhukam Mahfud Md, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin, sudah menyebut hal itu sebagai salah ketik.  

Namun ada juga kesan jika hal itu "disengaja" meski maksudnya bukan UU melainkan perda yang memang bisa dicabut oleh pemerintah pusat.

Terlepas mana yang benar, apakah typo atau ditujukan kepada UU di bawahnya, tetapi pasal 170 ayat 1 jelas harus dihapus, bahkan sebelum dibawa ke DPR. 

Sebab jika tetap tertulis pemerintah dapat mengganti atau merevisi UU sekalipun dengan imbuhan penjelasan ditujukan untuk peraturan di bawaknya, jelas akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Sebab di dalam hierarki perundangan-undangan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) berada di bawah UU, terkecuali Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).    

Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 15 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas menyebutkan bahwa "Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang- Undan g sebagaimana mestinya".

Sementara sebagaimana bunyi pasal 1 ayat 3 UU Nomor 15/2019 "UU adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden".

Mengapa harus dihapus sebelum dibawa ke DPR? Sebab jika sampai dibawa ke DPR dan menjadi perdebatan hingga voting, dipastikan kubu pemerintah akan menang.

Seperti diketahui, saat ini kubu pemerintah menguasai lebih dari 70 persen kursi DPR. Bukan mustahil akan ada deal-deal politik untuk mengegolkan UU Ciker tanpa revisi.

Jika Omnibus Law Ciker disahkan dan diberlakukan, secara politik dampaknya sangat berbahaya. Bukan hanya mengembalikan DPR hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah seperti di masa Orde Baru, namun juga memberi jalan lahirnya pemerintahan otoriter.

Kedua, pemilik modal akan menjadi "tuan" yang mengendalikan kebijakan pemerintah. Jika di masa Orde Baru pembangunan menjadi panglima sehingga rakyat tidak boleh bersuara jika menyangkut pembangunan, maka dengan UU Ciker sangat mungkin tidak ada yang boleh mengkritik pengusaha atau investor yang mebayar gaji murah atau bahkan merusak lingkungan.

Ketiga, kebebasan pers akan tinggal kenangan karena benar-benar telah menjadi komoditi atau industri di mana tolok ukurnya bukan lagi menjadi pilar demokrasi tetapi meraup keuntungan. Meski tidak menafikan hal itu sudah terjadi selama ini, tetapi masih ada sedikit rambu-rambu di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Di dalam UU Nomor 40/1999  pemerintah tidak memiliki otoritas untuk membredel perusahaan pers. Sedang di UU Ciker, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana bunyi pasal 18 ayat 4, "Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Meski untuk sampai kepada sanksi administratif cukup panjang, tetapi pengalaman menunjukkan, tangan kekuasaan dengan mudah "menciptakan" hal-hal yang akhirnya dapat dijadikan syarat untuk menjatuhkan sanksi tersebut.

Itu baru beberapa pasal yang mencuat dan menjadi polemik saat ini. Sangat mungkin masih banyak pasal yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi karena didorong keinginan untuk memberikan karpet merah kepada pemilik modal.

Kita berharap, pemerintah tidak terburu-buru membawa draft Omnibus Law Ciker ke DPR. Kita menuntut transpransi dan pelibatan masyarakat secara luas sebagaimana diamanatkan UU Nomor 15/2019 bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah keterbukaan.

Salam @yb

Tulisan terkait : Pemerintah Enggan Hapus Pasal Kontroversial, DPR Bisa Apa?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun