Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Panja Jiwasraya, Obat Gatal untuk Kanker

22 Januari 2020   07:19 Diperbarui: 22 Januari 2020   08:46 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jiwasraya. Foto: KOMPAS.id/Priyombodo

Dorongan pembentukan panitia khusus (pansus) skandal Jiwasraya menthok. Partai Demokrat dan PKS tidak mampu melawan dominasi partai-partai koalisi pemerintah. Untuk "hiburan", sekaligus melokalisir isu, DPR membentuk panitia kerja (panja).

Ada dua lanskap yang harus dikedepankan sebelum menyimpulkan perlu-tidaknya pansus, ataukah hanya cukup melalui panja, terhadap skandal Jiwasraya.

Pertama, potensi kerugian perusahaan asuransi plat merah itu, yang menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin mencapai Rp 13,7 triliun. Jika dibandingkan dengan skandal lain, semisal Bank Century, jumlahnya luar biasa besar karena nyaris dua kali lipat.

Bahkan sampai saat ini, potensi kerugian negara dari Jiwasraya berada di urutan pertama, disusul Asabri (Rp 10 triliun), Bank Century (Rp 7 triliun), Pelindo, Izin tambang Kotawaringin Timur, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) warisan Soeharto , hingga e-KTP dan proyek Hambalang yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp 706 miliar.

Dari kasus-kasus tersebut, DPR pernah membentuk pansus untuk BLBI dan Bank Century yang terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kedua, fungsi serta kedudukan pansus dan panja. Pansus dibentuk melalui paripurna DPR dan bersifat lintas komisi. Dengan demikian, pansus dapat meminta keterangan kepada semua pihak yang terkait dan diduga terkait dengan suatu kasus yang menjadi objek.

Sedang panja cukup dibentuk oleh komisi di DPR dengan anggota dari komisi bersangkutan. Panja Jiwasraya dibentuk oleh Komisi XI. Namun belakangan Komisi VI ikut-ikutan membentuk panja.

Karena dibentuk oleh komisi maka kewenangan untuk mencari data dan keterangan juga sangat terbatas yakni hanya terhadap lembaga atau instansi yang menjadi mitra kerjanya. 

Hal ini juga yang dijadikan alasan Komisi VI ikut membentuk panja karena kewenangan Komisi XI terbatas pada lingkup kementerian/lembaga keuangan. Sementara Komisi VI bisa menjangkau BUMN.

Hasil temuan panja, yang dirumuskan dalam bentuk rekomendasi, diserahkan ke pimpinan DPR. Fakta membuktikan, banyak rekomendasi panja yang "berhenti" di tingkat pimpinan DPR seperti rekomendasi Panja Outsourcing di periode lalu.

Jika pun diteruskan kepada pemerintah, belum tentu juga dilaksanakan mengingat rekomendasi panja tidak memiliki konsekuensi politik, apalagi hukum. 

Rekomendasi panja tidak lebih dari saran DPR (baca: komisi) kepada pemerintah. Karena tidak mempunyai daya tekan yang kuat, pihak-pihak yang menjadi objek panja cenderung abai terhadap rekomendasi yang diberikan, terlebih jika dianggap "merugikan".

Bagaimana dengan pansus?

Selain beranggotakan lintas fraksi dan komisi, rekomendasi pansus menjadi keputusan DPR yang disahkan melalui paripurna. 

Kedudukannya cukup kuat dan memiliki konsekuensi karena dapat menjadi pintu menuju Angket manakala ditemukan adanya kebijakan pemerintah yang mengarah pada pelanggaran UU.

Meski proses pembentukan Angket tidak selalu demikian- karena pada hakekatnya cukup atas usulan 25 anggota DPR dari dua fraksi atau lebih, tetapi dengan adanya pansus, terlebih sudah ditemukan materi pelanggaran yang kuat, dorongannya jauh lebih kuat.

Nah, sekarang apa tujuan DPR "ikut-campur" dalam penanganan skandal Jiwasraya? Jika sekedar ingin memastikan proses hukum berjalan dan uang nasabah dilindungi, maka pansus terlalu besar.

Sebaliknya, jika DPR melihat ada unsur lain di balik skandal, semisal dugaan keterlibatan "pemerintah", maka panja tidak efektif untuk mengurai kasusnya. Sebab untuk membongkar unsur tersebut akan melibatkan banyak pihak yang bukan menjadi mitra kerja Komisi XI maupun VI.

Membentuk panja untuk mengurai kasus yang memiliki tendensi politik sama halnya dengan memberi obat gatel kepada penderita kanker alias mubazir.

Tentu saja PKS, terlebih Demokrat, ingin pansus karena menduga ada tangan tak terlihat, "peristiwa lain" di balik skandal Jiwasraya. Demokrat juga ingin "balas dendam" karena dulu fraksi-fraksi yang kini menolak pansus adalah inisiator Pansus Bank Century.

Apalagi sebelumnya ada narasi jika Jiwasraya sudah keropos sejak pemerintahan SBY- yang kini Ketua Umum Partai Demokrat. Juga adanya fakta mantan anggota Kepala Staf Kepresidenan yang ikut tersangkut.

Dari konstruksi di atas, maka sebaiknya, jika memang tidak dapat membentuk pansus, DPR juga tidak perlu membentuk panja, apalagi sampai dua panja.

Serahkan saja penanganannya kepada Kejaksaan Agung daripada hanya menghambur-hamburkan anggaran untuk sesuatu yang sudah "disepakati" hasilnya, bahkan sebelum dibentuk. Lebih baik DPR fokus pada hal lain yang menjadi tugas pokoknya, semisal legislasi.

Jika memang ada "nuansa" ke arah politik, ada aliran dana yang menguntungkan partai atau kepentingan penguasa, nanti juga akan tercium sekali pun ditutup rapat.

Jika sudah demikian, meski tidak ada penyelesaian yang komprehensif karena DPR didominasi kader-kader partai koalisi pemerintah, publik akan mencatat dalam ingatan kolektif dan gemanya tidak akan hilang hingga dua dekade mendatang seperti halnya BLBI, juga Bank Century .

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun