Hanya dua hari setelah mengunjungi Perairan Natuna, Presiden Joko Widodo mengajak Jepang melakukan investasi di wilayah yang sebagiannya tengah diklaim RRC. Tawaran tersebut bisa dilihat sebagai strategi untuk mengadu dua raksasa ekonomi, juga militer.
Meski bukan proyek baru karena sebelumnya Jepang juga sudah melakukan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu, namun tawaran Jokowi menjadi menarik mengingat perubahan geopolitik yang tengah terjadi saat ini.
Seperti diketahui China menganggap perairan Natuna bagian Utara sebagai wilayahnya. China bahkan mengirim kapal-kapal penjaga pantai (coast guard) untuk mengawal nelayannya yang tengah mencuri ikan di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Â Â
Meski mengakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 namun China juga menggunakan dasar historis berdasarkan wilayah Dinasti Ming dan relevant waters (perairan terkait) setelah sebelumnya "menduduki" Kepulauan Spratly yang masih disengketakan Filipina, Malaysia, Brunei , Vietnam hingga Taiwan.
China tidak mau mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Permanen yang memenangkan Filipina dalam sengketa kepemilikan gugusan karang di Laut China Selatan tersebut dan tetap keukeuh dengan peta nine dash line versi 1953.
Protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri tidak digubris. China bahkan sama sekali tidak peduli dengan sikap Indonesia. Namun ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Natuna, kapal-kapal nelayan China, termasuk coast guard-nya balik badan.
Siapa sangka jika sejak Sabtu (11/1/20) kemarin kapal-kapal itu sudah kembali menjelajahi wilayah yang menjadi hak kelola Indonesia. Bahkan menurut Panglima Komando Gabungan Wilayah I Laksdya TNI Yudho Margono, jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.
"Sekutar 30 kapal," ujar Yudho Margono seperti dikutip dari KOMPAS.com
Apakah kehadiran kembali kapal-kapal China ke perairan Natuna sebagai bagian provokasi setelah Jokowi menggandeng Jepang?
Bukan rahasia lagi China sangat berkepentingan dengan wilayah laut China Selatan yang sangat strategis untuk mengembalikan imperium China di masa lalu.
Bukan hanya terkait kekayaan alam, termasuk ikan yang melimpah, dengan menguasai Spratly dan Natuna, China dapat menggerakan kekuatan militernya hingga ke "hidung" negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Langkah Jokowi menggandeng Jepang, terlebih Amerika Serikat, tentu tidak sesuai harapan China yang sejak beberapa tahun terakhir, mendengungkan keinginan untuk masuknya ke Natuna. Ada kemungkinan China akan bergerak cepat sebelum Natuna dibanjiri investasi Jepang dan AS.