Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tes DNA dan Upaya Pengaburan Identitas Kebangsaan

17 Oktober 2019   08:41 Diperbarui: 17 Oktober 2019   20:35 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grace Natalie, Ariel NOAH, Najwa Shihab. Foto: Istimewa

Najwa Shihab memiliki 10 perpaduan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dari berbagai bangsa. Swastika Noorsabri, laki-laki berkulit legam bermata lebar yang lahir dari orang tua Jawa (Yogyakarta) memiliki tingkat kandungan ras Tionghoa lebih besar dibanding Grace Natalie.

Jika Grace yang kita kenal sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa memiliki tingkat presentase gen nenek moyang paling besar dari wilayah Asia Timur maka  Najwa yang orang Indonesia keturunan Arab ternyata hanya memiliki 3,4 persen DNA Arab.

Selain ketiga orang itu, masih ada 13 orang lainnya termasuk Ariel NOAH, yang menjadi relawan tes DNA untuk mengetahui asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia. Direktorat Sejarah, Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Museum Nasional disebut mendukung penuh kegiatan penelitian dan pameran ASOI: Asal Usul Orang Indonesia yang diinisiasi Historia.id tersebut.

"Temuan" ini kemudian dijadikan alas pembenar menolak klaim pribumi. Menurut Grace, asal-usul orang Indonesia memang bercampur-campur lalu menjadi satu bangsa sehingga tidak ada istilah pribumi.

Ada yang salah? Tidak. Agama samawi mengajarkan bahwa umat manusia di dunia keturunan Adam dan Hawa atau Eva. Manusia yang ada di dunia saat ini berasal dari satu induk yang kemudian menyebar (migrasi) ke berbagai wilayah.

Berangkat dari keyakinan itu, maka jika tes DNA dilakukan terhadap orang Jepang, India, Inggris, China, Rusia hingga Arab, akan ditemukan kesamaan dengan ke 16 relawan itu. Dengan kata lain, tidak ada pribumi di Jepang, China, Arab, Rusia dan lain-lain.

Itu jika didasarkan pada agama yang bersifat dogmatis. Mari kita gunakan pendekatan ilmiah, khususnya kepurbakalaan, yang penulis kutip dari berbagai berita dan jurnal ilmiah.

Temuan fosil tulang manusia purba Homo erectus (berjalan tegak) di Kali Bodas, Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah diperkirakan berusia 1,8 juta tahun.  Homo  erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistocene sekitar 2,0 juta tahun lalu, dan terus menyebar ke seluruh dunia hingga mencapai Asia.

Sedang  fosil Homo sapiens tertua ditemukan di Maroko yang usianya sudah lebih dari 300 ribu tahun. Di Indonesia manusia yang lebih modern itu diperkirakan sudah ada sejak 63-73 ribu tahun lalu.

Dengan demikian, jika didasarkan pada temuan fosil itu, tidak ada pribumi di luar Afrika. Semua pendatang dan campuran dari berbagai ras.

Pertanyaannya, maukah orang-orang Arab, Rusia, China dan lain-lain itu, disebut bukan sebagai pribumi di negaranya? Maukah suku Indian disebut pendatang di Amerika Serikat, sama seperti halnya orang-orang keturunan Irlandia, Italia yang baru datang ke negeri itu  di awal abad 16?  

Dalam kaitan politik, maukah China dipimpin oleh warganya yang keturunan Jepang atau Rusia? Maukah masyarakat Inggris dipimpin oleh warga Inggris keturunan China?

Jangan dicontohkan wilayah kota atau kabupaten karena yang tengah dibahas terkait negara. Jika menggunakan rujukan Wali Kota London yang berdarah Arab, sudah banyak wilayah di Indonesia setingkat kota/kabupaten yang dipimpin oleh orang-orang yang disebut keturunan baik Tionghoa  maupun Arab, bahkan jauh sebelum Shadiq Khan atau orang-orang non-Inggris  menjadi pemimpin di negeri yang sering menjadi rujukan demokrasi tersebut.

Teori silang DNA yang kemudian digunakan sebagai pembenar tidak adanya pribumi Indonesia cacat pemahaman sepanjang tidak menyimpulkan hal serupa untuk negara-negara lain. Sebab DNA manusia modern Afrika sangat mungkin juga sudah bercampur. Apakah hal itu lantas bisa dijadikan pembenar tidak ada pribumi di Afrika?

Kita melihat ada upaya pengaburan identitas kebangsaan yang tengah diperjuangan kelompok tertentu dengan motif politik. Sebab selama ini ada segelintir orang yang merasa tergganggu dengan isu pribumi, dan bahkan dianggap sebagai penghalang kaumnya menjadi pemimpin politik di Indonesia.

Mengapa tidak mencoba berdamai dengan fakta-fakta yang ada? Bahwa suku bangsa itu ada dan mereka mendiami satu kawasan tertentu sebagai sebuah keniscayaan. Jika suku bangsa lain datang ke kawasan itu dan ingin menjadi penguasa, mengapa tidak membaur sambil meyakinkan warga yang sudah ada sebelumnya jika mereka tidak akan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negeri leluhurnya, tidak akan mengganti budaya yang ada dengan budaya leluhurnya.

Yakinkan dan buktikan saja dengan perilaku, bukan dengan cara memanipulasi sejarah. Orang Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan lain-lain sangat permisif dan tidak mempersoalkan siapa yang akan menjadi pemimpinnya sepanjang dia benar-benar tulus. Tidak menggunakan kekuasaan yang didapat demi memuluskan cita-cita kaum saja.

Jangan selama ini hidup ekslusif --hanya bergaul dengan kaumnya, lalu tiba-tiba ingin menjadi pemimpin bagi semua golongan dengan membangun narasi siapa saja yang tidak memilih dirinya sebagai kelompok rasis.

Jika hal-hal semacam itu yang terus didengungkan, jangan sesali jika pada akhirnya akan mendapat reaksi balik, yang mungkin saja tidak terduga.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun