Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Meragukan "Niat" Penusuk Wiranto?

11 Oktober 2019   10:51 Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:12 3064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Wiranto sempat membungkuk seperti menahan sakit uai diserang SA. Foto: KOMPAS.com/Antara/Dok. Polres Pandeglang

Menko Polhukam Wiranto ditusuk oleh Syahrial Alamsyah alias Abu Rara saat melakukan kunjungan kerja ke Pandeglang, Banten, kemarin sekitar pukul 11.50 WIB.  Akibatnya, Wiranto dikabarkan menderita dua luka tusuk dan sempat menjalani operasi di RSPAD Gatot Subroto Jakata.

Kapolsek Menes Kompol Daryanto juga menjadi korban setelah pada saat bersamaan diserang oleh Fitri, istri Abu Rara.  Pelaku diduga terpapar paham radikal. Polisi tengah mendalami kaitan pelaku dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD)

Usai menjenguk Wiranto di rumah sakit, Presiden Joko Widodo langsung memberi perintah kepada Kapolri, Kepala BIN dengan dibantu TNI untuk menindak tegas pelaku dan jaringan yang terafiliasi.

Peristiwa penusukan yang dialami Wiranto sangat nyata. Masyarakat dapat mengikuti perkembangannya dari menit ke menit dan bahkan bisa "menyaksikan" secara langsung dari video yang beredar.

Tidak ada rekayasa. Tetapi mengapa ada sebagian unggahan di media sosial yang bernada sinis, meragukan, bahkan sama sekali tidak percaya? Sebagai contoh adalah cuitan Jerinx di Twitter: "Kalau niatnya emang membunuh kenapa pisaunya kecil ya".

Jerinx sepertinya meragukan niat pelaku. Dari kalimatnya dapat disimpulkan beberapa kemungkinan. Pertama, Jerinx tidak yakin pelaku memiliki niat untuk membunuh. Kedua, pelaku memiliki motif lain, bukan membunuh.

Jangan ditanya komentar dari beberapa nitizen yang selama ini kontra pemerintah. Mereka begitu liar menuding  ada "sandiwara" di balik peristiwa tersebut.

Mengapa masih ada masyarakat yang tidak mempercayai sebuah peristiwa percobaan pembunuhan terhadap pejabat tinggi yang terjadi di depan publik dan sudah dikonfirmasi secara langsung oleh Presiden?

Kondisi demikian sangat memprihatinkan.  Jika disebut mereka yang tidak percaya sebagai pembenci Jokowi, rasanya kurang tepat juga. Terlalu menyederhanakan masalah seolah jika tidak bersama berarti pembenci Jokowi.

Tanpa mengurangi keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menimpa Wiranto, ada beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan pintu masuk untuk mengetahui sikap masyarakat.  

Pertama terkait pola pendekatan keamanan di masa lalu. Intelijen ada di mana-mana, terutama organisasi yang kontra pemerintah. Ada anggota intelijen yang hanya digunakansatu kali untuk hal-hal yang sangat rahasia dan memiliki efek besar. Setelah melakukan tugasnya, dia buru-buru keluar dari organisasi itu dengan menciptakan kegaduhan sebagai alasan.

Ada juga intel yang tugasnya menjadi tim sorak. Dia akan menggiring organisasi atau orang tertentu untuk melakukan sesuatu yang bisa menjadi alas aparat keamanan untuk membubarkan organisasinya atau menangkap tokohnya.

Semisal intel A masuk atau menyusup ke organisasi yang hendak "dibereskan". Lalu intel yang sudah ditanam dalam organisasi memprovokasi rekan-rekannya untuk menyerang intel A dengan dalih musuhnya. Sejumlah anggota organisasi yang sudah terprovokasi akhirnya melakukan tindak anarkis.

Jika di zaman sekarang, aksi itu akan diikuti dengan kerja buzzer untuk menggalang opini yang menyudutkan organisasi atau tokoh tersebut.  
Pola semacam ini sudah sangat lazim. Bahkan dari beberapa bacaan tentang dunia intelijen, merupakan pola dasar, tetapi justru paling efektif untuk menghancurkan lawan.  

Sialnya, di masa lalu sebagian masyarakat kita pernah dicecoki metode begitu sehingga tanpa sadar senantiasa menghubungkan kejadian kekinian dengan sesuatu yang ada dalam memorinya.

Kedua, adanya nuansa ketidaknetralan aparat, birokrat hingga media. Meski hal semacam itu sudah sering dibantah oleh pihak-pihak terkait, tetapi beberapa peristiwa dapat dijadikan alas untuk tidak mempercayainya.

Ketiga, buzzer politik. Salah satu "hasil" kerja buzzer politik adalah retaknya hubungan antar warga bangsa yang disekat oleh aspirasi politiknya. Setiap hari mereka mendengungkan narasi kebencian terhadap tokoh atau organisasi yang dipetakan sebagai lawan.

Akibatnya, timbul kebencian balik dan pada saat bersamaan, tumbuh pula dendam dari anggota organisasi atau pengikut tokoh yang dibully buzzer politik bayaran. Jika tokoh atau organisasi tersebut memiliki pengikut besar, bisa dibayangkan, seperti apa situasinya.

Kebencian atas nama perbedaan pilihan politik itu kini telah mendarah-daging. Tidak sirna meski pilpres atau pilkada, telah usai. Akibatnya, ketika ada tokoh politik menjadi korban, mereka pun tidak percaya  dan dianggap hanya setingan atau untuk menutupi peristiwa lain.

Miris! 

Kita menolak pola pikir dan cara-cara demikian demikian, sebagaimana kita juga menolak ketika satu peristiwa digunakan untuk mendiskreditkan satu kaum.    

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun