Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mengapa Ma'ruf Gagal Kerek Elektabilitas Jokowi?

18 Desember 2018   12:08 Diperbarui: 19 Desember 2018   17:29 1985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH Ma'ruf Amin ketika dikunjungi Erick Thohir. Foto: KOMPAS.com/Jessi Carina

Pertimbangan utama petahana Joko Widodo menunjuk KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres adalah aspirasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan kendaraan politik warga Nahdlatul Ulama (NU). Tetapi setelah 4 bulan berlalu, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf ternyata stagnan. Benarkah Kyai Ma'ruf belum berkampanye?

Pengaruh Ma'ruf Amin mendapat sorotan tajam ketika survei internal Tim Kampanye Nasional (TKN) mendapati elektabilitas Jokowi-Ma'ruf masih stagnan, bahkan jeblok di beberapa daerah, terutama Banten. 

Di provinsi para jawara itu, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf hanya 39 persen, tertinggal jauh dibanding lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang meraup 58,7 persen. Angka itu juga lebih rendah dibanding perolehan suara Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014 yang sebesar 42,9 persen.

Banten menjadi anomali karena pada Pemilu 2014 dimenangi PDIP dan sempat dipimpin oleh kadernya, Rano Karno. Gubernur Banten Wahidin Halim, yang diusung 7 partai politik pada Pilgub Banten 2017 lalu- termasuk Partai Demokrat, juga diklaim menjadi penasehat tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf di Banten. Satu hal lagi, Ma'ruf merupakan ulama asli Banten sehingga situasi saat ini sulit diterima. Jika di kandang sendiri saja kalah, bagaimana di daerah lain?

Wajar jika kemudian kondisi di Banten menjadi perhatian serius Bravo-5 dan Cakra 19, tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf bentukan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang berisi purnawirawan TNI. Ketua Bravo-5 Wilayah Banten Irsyad Djuwaeli menyebut LBP memberi arahan khusus untuk memenangkan Banten saat Rapat Kerja Nasional Bravo 5 di Jakarta.

Sedang Sekretaris Jenderal Cakra 19 Eko Wiratmoko sempat memberi saran kepada LBP agar meminta Ma'ruf fokus di Banten karena tidak memberi dampak signifikan. "Kalau pun naik cuma satu strip," ujar Eko.


Stagnan dan ketertinggalan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf di Banten dan beberapa daerah lain diakui anggota Dewan Pengarah TKN Ginanjar Kartasasmita dan Pramono Anung.

Namun mengapa "membebankan" kondisi tersebut semata kepada Ma'ruf Amin yang disebutnya belum berkampanye, sebagaimana juga pernah disampaikan Ketua TKN Erick Thohir?

Sulit memahami pernyataan Ma'ruf Amin belum berkampanye karena faktanya sudah keliling ke Pulau Jawa. Benar, seperti ditulis sebelumnya, kunjungan ke berbagai pesantren secara masif dalam waktu berdekatan dalam kapasitasnya sebagai Mustasyar PBNU. Tetapi apakah hal itu akan terjadi jika Ma'ruf tidak sedang menjadi cawapres?

Jika stagnasi elektabilitas terus dibebankan kepada Kyai Ma'ruf, maka bukan mustahil akan menjadi bibit gesekan di antara tim pendukung. Bukan hanya elemen TKN dengan tim di lingkar dalam Ma'ruf, namun juga dengan PKB, PPP dan para kyai.

Alangkah bijak jika kondisi saat ini menjadi beban seluruh TKN, diambil-alih para penentu kebijakan di tubuh TKN, yang "gagal" mengkampanyekan kekuatan dan kelebihan Jokowi karena lebih sibuk menjadi tim bantah manuver kubu lawan. 

Mari kita jujur, program apakah yang akan dilakukan Jokowi jika kelak merengkuh periode kedua? Apakah melanjutkan program pembangunan seperti yang sudah dilakukan selama ini? Apakah masih akan menjadikan utang sebagai pondasi APBN dalam rangka percepatan pembangunan?

Jika jawabannya iya, maka tidak salah dengan kondisi saat ini. Stagnannya elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dikarenakan sikap pesimis kelompok milenial dan swing voters yang alergi dengan utang luar negeri. Mereka bukan anti-utang untuk pembangunan, namun phobia dengan beberapa hal buruk terkait utang negara, dari mulai krisis ekonomi akibat gagal bayar, bangkrut hingga pengambil-alihan kendali infrastruktur oleh negara pemberi utang.

Mengapa anggota-anggota TKN selalu mengikuti irama, nyinyir, dengan kubu sebelah? Tidak sadarkah bahwa hal itu sangat mungkin disengaja lawan agar perdebatan di ruang publik tidak terkait keberhasilan pembangunan pemerintah selama 4 tahun terakhir? 

Selama 4 bulan masa kampanye ini, kapan terakhir publik disuguhi perdebatan terkait capaian pembangunan Jokowi? Apakah TKN sudah merilis berapa panjang jalan tol dan berapa pertambahan aset negara lalu dibandingkan dengan pertumbuhan utang selama pemerintahan Jokowi-JK?

Meminta agar kubu lawan menggunakan data ketika menyampaikan kritik tapi diri sendiri tidak pernah membeber data, sungguh ironi. Kelompok swing voters didominasi pemilih kritis dan rasional, yang tidak mudah larut dalam perdebatan permukaan. 

Mereka mungkin greget dengan pernyataan Indonesia bubar, Indonesia punah yang disuarakan Prabowo. Mereka mungkin bete melihat gaya kampanye Sandiaga yang berambut petai.

Tetapi mereka juga muak dengan tangkisan yang disampaikan anggota-anggota TKN karena justru memviralkan pernyataan Prabowo dan tingkah Sandiaga!

Kedua, jika "kelemahan" Jokowi-Ma'ruf di kalangan Islam modernis, mengapa yang "disalahkan" Kyai Ma'ruf yang notabene memang tidak bisa menjangkau kelompok itu? 

Basis Ma'ruf Amin adalah Islam tradisional, Nahdliyin, bukan Islam modernis. Mestinya, TKN melakukan koreksi siapa yang kian menjauhkan Jokowi dengan kelompok Islam modernis? Mengapa di kelompok-kelompok tertentu masih muncul stigma Jokowi anti-Islam padahal Jokowi memiliki akar Muhammadiyah yang kental sebagaimana Bung Karno dan Megawati Soekanoputri?

Ketiga, kita belum melihat upaya TKN memindahkan "pertempuran" ke ring 1 atau bahkan ring 2 Jokowi. Yang terjadi, Jokowi langsung dihadapkan pada isu-isu panas sehingga tidak ada reserve. Akibatnya ketika terjadi blunder, sebagian publik langsung tergiring persepsinya "ada Jokowi" di dalamnya. 

Contohnya ketika Kemendagri membuat aturan berpakaian bagi ASN yang langsung dicabut setelah timbul kontroversi. Demikian juga dalam kasus perusakan baliho Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau.

Mengapa ini terjadi? Jika saja TKN mampu mengendalikan isu, bisa memproteksi Jokowi dari isu-isu "murahan", maka hal semacam itu tidak akan terjadi. Jika TKN yang berisi orang-orang hebat dapat bersinergi dengan baik, tidak mungkin "tega" mengatakan stagnannya elektabilitas Jokowi-Ma'ruf karena mantan Ketua Umum MUI itu belum kampanye.

Atau jangan-jangan ungkapan Ma'ruf Amin belum berkampanye merupakan ekspresi kekesalan akibat peristiwa lain?

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun