Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelisik Peran Australia di Balik Sikap AS Tolak Gatot

24 Oktober 2017   12:02 Diperbarui: 24 Oktober 2017   17:03 4291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penolakan terhadap kehadiran Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo  di Amerika Serikat (AS) merupakan bentuk intervensi terhadap pemerintahan Joko Widodo. Kuat dugaan Australia menjadi aktor intelektual di balik kasus ini.

Kabar Jenderal Gatot ditolak masuk ke AS sangat mengejutkan. Meski bukan kali pertama perwira militer Indonesia ditolak oleh AS, namun penolakan Gatot menjadi- meminjam istilah ABC News, merupakan bencana diplomatik. Terlebih pemberitahuan dirinya ditolak masuk Amerika kepada pihak maskapai penerbangan Emirates hanya beberapa jam sebelum tinggal landas. Tepatnya saat Jenderal Gatot sudah berada di Bandara Soekarno- Hatta dan hendak check in, Sabtu, 21 Oktrober. Karena disampaikan melalui pegawai maskapai penerbangan tentunya tidak disertai alasan yang mengacu pada tata hubungan diplomatik antar dua negara berdaulat, sehingga terkesan sangat sewenang-wenang.

Bisa dibayangkan betapa terhinanya Indonesia ketika pemberitahuan bahwa panglima angkatan bersenjatanya ditolak memasuki suatu wilayah, justru disampaikan oleh pegawai sebuah maskapai penerbangan. Akan sedikit terhormat jika hal itu langsung disampaikan kepada Kemenlu atau melalui pejabat setingkat lainnya. Padahal keberangkatan Gatot bukan untuk kepentingan pribadi melainkan memenuhi undangan Pangab Amerika Serikat Jenderal Joseph F. Durford, Jr.

Meski saat ini AS telah mencabut larangan kunjungan Jenderal Gatot, disertai permintaan maaf oleh Duta Besar Joseph Donovan dan Menhan AS James Mattis, namun pemerintah Indonesia sebagaimana disampaikan Menlu Retno Marsudi, masih menunggu klarifikasi terhadap persoalan tersebut. Sikap Menlu sudah tepat karena jika tidak ada ketegasan dari Indonesia, bukan mustahil hal semacam itu akan kembali terjadi di masa mendatang. Tentu kita menghargai kebijakan dalam negeri AS, termasuk proteksi terhadap potensi gangguan keamanan dan ekonomi negaranya. Tetapi ada tata cara dan etika pergaulan diplomatik yang juga harus dihargai.

Keengganan AS memberikan alasan- selain sinyal bahwa penolakan terhadap Jenderal Gatot karena persoalan internal, menimbulkan spekulasi liar. Di dalam negeri, kontroversi dikaitkan dengan pelaksanaan Pilpres 2019. Saat ini nama Gatot tengah bersinar dan diprediksi akan menjadi peserta dalam kontestasi tersebut, entah sebagai calon Presiden maupun calon Wakil Presiden. Tidak sedikit yang meyakini Gatot akan menjadi pendamping Jokowi. Langkah Gatot mendekati kelompok Islam yang diasosiasikan garis keras, merupakan strategi Jokowi. Jika Jokowi dipersepsikan sebagai wakil kelompok nasionalis, maka Gatot telah menjelma menjadi pahlawan bagi sebagian umat Islam. Kombinasi yang sulit dikalahkan dalam kontestasi politik Indonesia.  

Dalam konteks itu, maka penolakan AS memiliki muatan politik yakni menjegal langkah Gatot. Amerika mulai kuatir Indonesia akan jatuh ke kelompok yang oleh AS dituding berpaham radikal. Dugaan ini tidak sepenuhnya salah mengingat selama ini para petinggi militer atau mantan jenderal yang ditolak memasuki wilayah AS selalu dikaitkan dengan isu Hak Asasi Manusia. Sedangkan Jenderal Gatot belum pernah diisukan terlibat dalam pelanggaran HAM baik oleh aktivis atau media dalam negeri maupun luar negeri.

Sayangnya ada yang terlupa dari berbagai spekulasi yang teruar selama 3 hari ini: peran Australia. Kecurigaan adanya keterlibatan para para petinggi dan aktivis dari Negeri Kanguru itu bukan tanpa sebab. Terlebih media Australia diikuti media pro AS lainnya, langsung mem-blow up kasus ini dan menyebutnya sebagai bencana diplomatik. Sulit menghindari kesan adanya upaya mendiskreditkan Jenderal Gatot. Terlebih sebelumnya media-media dan juga para pengamat dan aktivis di Australia gencar memojokkan Gatot.

Pengamat keamanan dari Universitas Deakin, Damien Kingsbury, misalnya, langsung menuding Gatot berambisi menjadi Presiden atau Wakil Presiden ketika memutuskan secara sepihak hubungan kerjasama militer dengan Australia. Kingsbury tidak yakin pemutusan itu murni karena ketersinggungan Gatot terhadap perwira militer Australia yang memplesetkan Pancasila menjadi pancagila. Kingsbury lebih meyakini sikap tersebut dimaksudkan untuk menarik simpati di depan masyarakat Indonesia, termasuk militer, yang sebelumnya tidak suka dengan Gatot. Media-media Austalia pun menuding keputusan yang diambil Jenderal Gatot tidak sepengetahuan Presiden Jokowi.      

Jenderal Gatot mulai menjadi momok menakutkan bagi Austalia ketika menuding lepasnya Provinsi Timor Timur (kini Negara Timor Leste) dari kedaulatan Indonesia adalah bentuk perang proksi (proxy war) yang dilakukan Australia. Demikian juga peran Australia di balik penguatan isu sparatis Papua. Jenderal Gatot juga pernah mempersoalkan penambahan pasukan Amerika di Darwin, Australia, karena mengancam keberadaan pulau-pulau terluar milik Indonesia seperti Masela, Saumlaki, dan Selaru yang hanya berjarak 90 KM dari Darwin. Pernyataan-pernyataan tersebut disampaikan secara terbuka sehingga memerahkan telinga Australia. Tidak heran jika para pengamat dan media-media Australia begitu memusuhi Jenderal Gatot. Mereka pun "tega" menyematkan label rasis terkait komentar Gatot  tentang cara menghadapi banjir pengungsi jika terjadi krisis pangan di daratan Tiongkok.

Mungkinkah ada peran Australia di balik penolakan kedatangan Gatot oleh US Custom and Border Protection (CBP)? Ingat, CBP adalah lembaga di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (United States Department of Homeland Security atau DHS) yang dibentuk setelah terjadi serangan 11 September 2001. Bukan mustahil para pejabat CBP terpengaruh oleh lobi-lobi pejabat Australia yang gerah dengan sikap Gatot dan opini yang dibangun secara sistematis oleh para politisi dan praktisi di Australia, sehingga menyimpulkan Gatot bagian dari kelompok Islam yang oleh mereka disebut radikal. Dugaan ini lebih meyakinkan dibanding alasan lainnya mengingat alasan "persoalan internal" seperti yang disampaikan Kedubes AS memiliki beragam tafsir.

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun