Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Nobar Film G30S/PKI, Gatot Capres PKS

30 September 2017   14:13 Diperbarui: 30 September 2017   14:50 3113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi tampak serius nobar film Pengkhianatan G30S/PKI di Korem Bogor. Foto: detik.com

Tidak ada yang keliru dengan judul di atas. Dua peristiwa itu memiliki kaitan dan akan menjadi isu utama dalam kancah politik tanah air hingga gelaran Pilpres 2019 mendatang. Isu PKI akan terus berkelindan dan Gatot menjadi titik didih karena bisa menjadi pembeda hasil Pilpres.

Di luar dugaan sebagian kalangan, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri ikut nonton bareng (nobar) film Pengkhianatan G30S/PKI di Markas Komando Rayon MIliter 061 Bogor, semalam. Hal itu diketahui publik setelah di-tweet oleh akun Twitter Kodam III Siliwangi dan dibenarkan Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto. Jokowi rupanya ingin membuat kejutan karena siangnya ribuan orang berdemo ke DPR menolak Perppu Ormas yang dibungkus dengan isu kebangkitan PKI. Sejumlah pihak, termasuk Amien Rais, berkali-kali menuding Istana mendukung kebangkitan PKI.

Aksi nobar film G30S/PKI, sekali lagi menunjukkan keligatan Presiden Jokowi  merespon tekanan dan isu-isu yang ditembakkan lawan politiknya. Kita tentu masih ingat ketika Jokowi hadir dalam demo Bela Islam 212, Desember 2016 lalu di Monumen Nasional.

Padahal demo tersebut lebih ditujukan kepada dirinya yang dianggap tidak netral dalam menyikapi kasus penodaan agama. Jutaan massa Islam terdiam saat Jokowi ikut sholat Jumat dan sedikit memberikan sambutan. Jokowi menepis kekuatiran sejumlah pihak yang mengira demo tersebut akan berujung pada desakan pelengseran dirinya. Jokowi sukses merebut panggung demo 212 tanpa mempermalu pihak mana pun, bahkan tanpa biaya politik.

Aksi nobar Jokowi menunjukkan dirinya tidak memiliki pretensi apa pun ketika film G30S/PKI dimanfaatkan oleh kelompok "oposisi" untuk menyerang pemerintah yang dituding pro kebangkitan PKI dan paham komunis. Bahkan Jokowi tidak memberi catatan terhadap imbauan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo agar film besutan Arifin C Noer itu diputar di tangsi-tangsi militer. Jokowi pun membiarkan para pembantunya "bertikai" sendiri dalam menyikapi pemutaran film itu. Ada yang mengecam, membiarkan, sampai ikut nobar seperti yang dilakukan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

Tidak mengherankan jika Jokowi tanpa beban kemudian ikut duduk bersila menghadap layar menyaksikan aksi heroik Soeharto "melawan" kebijakan Presiden Soekarno, baik terhadap PKI maupun penunjukkan Men- Pangad pengganti Jenderal Ahmad Yani yang menjadi korban dalam peristiwa keji tersebut. Orang-orang di luar yang mengira Jokowi alergi terhadap film G30S/PKI dan menjadikannya sebagai mortir yang diharapkan bisa memporakporandakan pertahanan Jokowi, dibuat melongo. Jokowi kembali sukses mematahkan serangan lawan tanpa cost of politic.

Bagi Jokowi film Pengkhianatan G30S/PKI tidak memberi efek apa pun baik negatif mau pun positif. Elektabilitas Jokowi tidak tergantung pada diputar atau tidaknya film tersebut. Tentangan utama pemutaran Pengkhianatan G30S/PKI bukan berasal dari kubu Jokowi, melainkan aktifis pro demokrasi, para korban cuci otak rezim orde baru dan penggiat hak asasi manusia. Penulis termasuk yang menentang pemutaran ini film ini karena lebih banyak mudarat  dibanding manfaatnya. Film Pengkhianatan G30S/PKI, bersama Serangan Fajar dan Janur Kuning (Serangan Umum I Maret 1949) adalah bagian dari propaganda rezim orde baru untuk mengkultuskan Soeharto.

Jika dilihat dari sisi sebaliknya, patut dicurigai, justru Jokowi sendiri yang sebenarnya menghendaki isu-isu PKI dibuka sampai tuntas sehingga kelak tidak digunakan lagi sebagai propaganda politik. Jokowi paham betul, isu PKI akan kembali menjadi amunisi pihak lawan pada Pilpres 2019 sebagaimana yang dilakukan lawannya pada kontestasi demokrasi sebelumnya, baik saat Pilkada Solo dan Jakarta maupun Pilpres 2014.

Segala sesuatunya jika sudah dibuka dan diketahui umum, tidak lagi menarik. Jika nobar film G30S/PKi digelar jelang Pilpres 2019, tentu ikut mempengaruhi emosi massa saat pencoblosan. Meski tidak terlalu ngefek terhadap elektabiltas Jokowi, tetapi tetap menimbulkan kegaduhan. Nah, jika sudah digelar saat ini, maka pada 2019 mendatang gaungnya pasti berkurang, bahkan mungkin tidak laku lagi.

Jika demikian, adakah kaitannya imbauan Panglima TNI dengan keinginan Jokowi? Kita bisa menemukan benang merahnya dari pernyataan Presiden PKS, Sohibul Iman. Menurut dia, Jenderal Gatot  termasuk capres potensial yang akan diusung PKS. Bahkan saat ini kader-kader PKS di Nusa Tenggara Barat sudah meminta agar PKS mengusung Gatot pada Pilpres 2019. Tidak butuh waktu lama, gema PKS akan ditangkap partai-partai lain.

Munculnya dukungan dari partai Islam, tentu tidak terlepas dari sejumlah aksi Gatot yang dianggap membela aspirasi umat Islam. Jenderal Gatot cukup rajin menyambangi pondok pesantren, ulama, dan tidak segan-segan menempatkan diri berada di kelompok bela Islam. Gatot juga mempunyai kebiasaan yang sangat menyentuh bagi umat islam yakni selalu dalam kondisi suci karena setiap waktu berwudhu. Tidak heran jika KH Muhammad Arifin Ilham menjulukinya sebagai Jenderal Penjaga Wudhu. Lengkap sudah citra Jenderal Gatot: pembela Islam yang anti PKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun