Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tafsir Keliru Laiskodat terhadap Penolak Perppu Ormas

5 Agustus 2017   12:41 Diperbarui: 9 Agustus 2017   10:20 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viktor Laiskodat saat berorasi di di Stadion Lasitarda-Lasiana Kupang. Foto: Pos Kupang/EDY BAU

Menyimpulkan penolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai wujud sikap intoleran, apalagi pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mencerminkan ketidakpahaman dan kekeliruan Viktor Laiskodat terhadap hak warga negara. Laiskodat menempatkan perbedaan pendapat antar partai, dan mungkin kelak antar warga bangsa, sebagai musuh an sich yang harus diperangi.

Ujaran kebencian, saling serang antar kader partai, tengah tren. Belum reda pernyataan provokatif Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menilai wajar jika PDIP disamakan dengan PKI, kini giliran Ketua Fraksi Nasdem DPR RI Viktor Laiskodat yang menyerang partai lain. Dalam acara deklarasi calon gubernur di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 1 Agustus lalu, Laiskodat diduga mengeluarkan ujaran yang menyebut Partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai pendukung kelompok radikal, pendukung HTI dan anti toleransi karena menolak Perppu Nomor 2/2017. Dalam rekaman video yang telah beredar luas dan sudah diunggah di Youtube, Laiskodat juga menyoroti upaya sekelompok orang yang ingin mengganti Pancasila dengan paham khilafah. Partai yang disentil pun ramai-ramai melaporkan Laiskodat ke polisi.

Menyamakan penolak Perppu Nomor 2/2017 dengan sikap intoleran benar-benar susah dipahami karena dilontarkan oleh politisi kaliber nasional seperti Laiskodat. Mestinya Laiskodat memahami esensi perbedaan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945. Laiskodat mengingkari fakta dan berusaha memaksakan pendapatnya melalui cara-cara yang dapat menimbulkan benturan di tengah masyarakat. Ada beberapa hal yang tidak dipahami Laiskodat terkait pernyataannya.

Pertama, perbedaan pendapat, termasuk aspirasi politik, dijamin oleh konstitusi dan merupakan bagian dari kemerdekaan berpikir yang melekat dalam setiap individu (human rights). Menghargai perbedaan (pendapat) adalah esensi sejati dari kebhinnekaan. Menghargai keberagaman (termasuk pikiran) tidak perlu diucapkan, disimbolkan dengan parade, tetapi diwujudkan dalam ucap dan tindakan sehari-hari.

Kedua, penolak Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas bukan pendukung HTI atau kelompok intoleran lainnya. Bagaimana mungkin Komnas HAM, Setara Institute dalam lembaga-lembaga yang selama ini concern dengan HAM, membela kelompok intoleran seperti HTI? Jika mereka mengkritisi bahkan menolak Perppu Nomor 2/2017, semata-mata karena melihat ada semangat pemberangusan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang menjadi hak dasar tiap individu dan dijamin oleh UUD 1945.

Salah satu indikasi itu adalah dengan meniadakan ruang untuk membela diri bagi ormas-ormas yang dituding radikal dan intoleran oleh pemerintah. Melalui Perppu Nomor 2/2017 pemerintah bisa serta-merta membubarkan ormas tanpa melalui peradilan. Jika saat ini baru HTI yang disasar, siapa yang menjamin kelak tidak ada ormas yang dibubarkan pemerintah hanya karena beda tafsir terhadap sebuah ayat adalam UU? Siapa yang menjamin polisi tidak akan membubarkan acara baca puisi hanya karena menilai isi puisi yang dibacakan "mengandung" pemikiran anti pancasila? Artinya, pembubaran ormas dan kelak mungkin berkembang menjadi pembubaran pentas kreasi masyarakat, akan sangat subjetif. Tergantung kepada penalaran individu-individu yang memiliki otoritas untuk mengawasi masyarakat. Dan ini sangat berbahaya karena mengembalikan kita ke masa kelam orde baru.

Ketiga, Perppu adalah produk (hukum) politik sehingga sangat wajar jika menimbulkan perbedaan dan dikritisi oleh para politisi baik secara kepartaian maupun individu. Pro-kontra terhadap suatu produk politik adalah bagian dari demokrasi sehingga sangat miris ketika perbedaan itu dianggap sebagai ancaman.

Keempat, mengartikan khilafah sebagai sebuah tatanan negara yang meniadakan perbedaan (agama), sangat tendensius. Kuat dugaan Laiskodat menafsirkan khilafah hanya seperti yang dipertontonkan gerombolan radikal ISIS. Laiskodat alpa terhadap sejarah kekhalifahan Islam yang membentang dari Asia, Afrika hingga Eropa dan tidak ada bukti atau jejak pemaksaan keimanan di dalamnya. Laiskodat lupa pada kisah yang pernah dijadikan model oleh Nusron Wahid tentang kepala daerah non Muslim di zaman Khalifah Mu'awiyah.

Mengapa kita selalu dihadapkan pada isu-isu tentang toleransi yang seharusnya sudah selesai? Sebagai politisi dari partai pendukung pemerintah, mestinya Laiskodat ikut merawat keberagaman dan mengkampanyekan arti pentingnya toleransi kepada seluruh lapisan masyarakat, bukan justru memprovokasinya. Munculnya kelompok intoleran, apalagi radikal, harus kita lawan dan perangi, tetapi tidak cara-cara yang mengingkari hak asasinya. Pembunuh memang kejam dan wajib kita perangi, tapi "bunuhlah" dia di muka peradilan yang fair dan independen. Jika kita membunuhnya di luar itu, apa bedanya kita dengan dia? 

salam @yb

Note: artikel senada dipublikasikan di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun