Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kebenaran Kritik SBY dan Kontroversi Dana Haji

31 Juli 2017   06:58 Diperbarui: 3 Agustus 2017   23:57 17148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY dan keluarga ketika berkunjung ke Jembatan Suramadu. Foto: merdeka.com

Jor-joran belanja pembangunan yang menjadi kebijakan Presiden Joko Widodo akhirnya sampai pada titik jenuh. Upaya menambal defisit APBN dari berbagai arah; mencabut subsidi energi, utang luar negeri, hingga tax amnesty sudah mentok sehingga untuk menutupi defisit APBN 2017 pemerintah melirik dana haji. Pada titik ini, kritik mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap konsep pembangunan Jokowi menemukan kebenarannya.

Masih ingat Tour de Java ala SBY?  Sekedar mengingatkan, setelah lengser SBY merasa masih memiliki kekuatan dan menggunakannya untuk mengawal penggantinya. Ketika bertemu masyarakat, termasuk nitizen, SBY tidak segan-segan mengulik secara tajam berbagai kebijakan Jokowi dari mulai kisruh kabinet hingga perpecahan sejumlah partai yang dituding akibat campur tangan pemerintah dan ketidakmampuan Jokowi dalam mengelola perbedaan. Namun "nasehat" SBY soal pembangunan infrastruktur yang membuat kuping Jokowi memerah. Menurut SBY, pemerintah jangan memaksakan diri membangun infrastruktur di tengah perekonomian yang sedang sulit. Apalagi jika pada akhirnya bantuan atau subsidi kepada rakyat menjadi korbannya.

Untuk menjawab segala kritik ketua umum Partai Demokrat tersebut, tanpa dinyana Jokowi melakukan tour ke proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Desa Hambalang Bogor. Proyek itu dihentikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah diketahui menjadi bancakan sejumlah politisi elit Partai Demokrat dan sejumlah pejabat lainnya di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dalam blusukan tersebut Jokowi berjanji akan segera mengambil keputusan apakah proyek tersebut akan dilanjutkan atau tidak.

Merasa dipermalu, mantan Kasospol ABRI di era Presiden Soeharto itu melakukan counter dengan mengunjungi Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), lengkap dengan keluarganya. Kepada warga yang ditemui di Jembatan Suramadu, SBY pun bercerita tentang proses pembangunan jembatan yang konon terpanjang di Indonesia itu. Tidak tanggung-tanggung, SBY menariknya dari tahun 60-an, melewati beberapa era pemerintahan, hingga akhirnya selesai di era kepemimpinannya. Tidak lupa SBY mengatakan saat dirinya menerima transfer kekuasaan dari Presdien kelima Megawati Soekarnoputri, jembatan itu baru ground breaking. Artinya, jika dirinya tidak mau melanjutkan pembangunannya, terlebih saat itu pemerintah tengah kesulitan anggaran, jembatan 'warisan' Megawati itu dipastikan mangkrak sebagaimana Hambalang.

Adalah tugas pemimpin berikutnya untuk meneruskan pembangunan yang sudah dimulai tanpa  menyalahkan pemimpin sebelumnya, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan SBY.

Dua tahun berlalu dan SBY pun sempat puasa bicara politik setelah gaduh Pilkada DKI Jakarta yang menempatakan SBY dan Jokowi pada posisi berhadap-hadapan. Namun selepas persetujuan RUU Pemilu yang memuat pasal krusial terkait presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 suara nasional, SBY kembali menggeliat. SBY menyentak perhatian publik ketika membuka pintu menerima kedatangan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Meski menolak tawaran koalisi yang disodorkan Prabowo, pertemuan itu telah mencairkan komunikasi politik antara Gerindra dengan Demokrat yang selama ini beku. Pilkada serentak 2018 akan menjadi pembuka dimulainya jalinan koalisi pragmatis di sejumlah daerah.


Dalam pertemuan itu SBY menuding Jokowi menyalahgunakan kekuasaannya, terutama terkait Perppu Ormas dan presidential threshold. SBY berjanji tidak akan tinggal diam dan akan memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh penguasa tidak melampaui batas atau abuse of power.

Aksi SBY dan Prabowo langsung mendapat respon. Presiden Jokowi tegas mengatakan pemerintah diawasi oleh LSM, DPR dan pers sehingga tidak ada yang namanya kekuasaan absolut. Sementara terkait presidential threshold yang dianggap salah karena menggunakan basis Pemilu 2014 yang sudah selesai, Jokowi mengelak dengan mengatakan hal itu produk DPR.

Dari jawaban tersebut, Jokowi terlihat kedodoran. Meski mendapat pengawasan secara bebas dari lembaga-lembaga yang disebutkan, tetapi Perppu Ormas lahir prematur karena menafikan kegentingan situasi sebagai alas utamanya. Pemerintah hanya ingin jalan pintas sehingga mengebiri hak masyarakat untuk melakukan pembelaan atas aspirasi sosial dan politiknya di sebuah peradilan yang terbuka dan independen sebagaimana dimaksud dalam UU Ormas yang sudah dilikuidasi dengan Perppu tersebut.

Sementara terkait presidential threshold, tidak sepenuhnya produk DPR karena awalnya merupakan usulan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meski belakangan Tjahjo mengelak dan ikut dengan pendapat Presiden.

Padahal UU dibuat oleh DPR dan pemerintah, di mana keduanya memiliki opsi yang sama sebagai pengusul. Dalam hal RUU Pemilu, jelas diusulkan pemerintah, dibahas bersama DPR, disetujui oleh DPR pendukung pemerintah, dan (akan) disahkan Presiden dan diundangkan oleh pemerintah. Jadi kurang tepat jika Presiden menyebut RUU Pemilu, terutama poin presidential threshold sepenuhnya produk DPR, tanpa campur tangan pemerintah.

Dana Haji

Kini Jokowi menggulirkan wacana menggunakan dana haji untuk membiayai proyek infrastruktur dan sudah disetujui oleh Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji serta Menteri Agama. Presiden berjanji akan menginvestasikan dana haji pada proyek-proyek yang menguntungkan seperti jalan tol dan pelabuhan. Pada titik inilah ada benang merah antara kritik SBY terhadap kebijakan pembangunan Jokowi saat Tour de Java. Pembangunan yang dilakukan Jokowi sangat massif, dari Sabang sampai Merauke, dari daerah perbatasan hingga ibu kota, dari pulau terluar hingga pedalaman. Jokowi sepertinya ingin menyelesaikan semua persoalan infrastruktur dalam sekejap tanpa mempertimbangkan kondisi APBN yang pas-pasan. Ibarat istri pengantin baru, semua ingin dibeli dan dibangun tanpa melihat penghasilan suaminya.

Alhasil, defisit APBN cukup menganga. Sebenarnya rezim defisit anggaran tidak selalu buruk, sepanjang memang ada potensi pendapatan yang riil dan para pembantunya dapat diandalkan untuk menggali potensi pendapatan baru di luar pendapatan rutin. Dalam kasus ini, Jokowi menutup defisit APBN di tahun pertama kekuasaannya dengan mencabut subsidi bidang energi, terutama BBM yang nilainya di kisaran 200 triliun dan menambah utang luar negeri senilai Rp 469 triliun lebih. Tahun kedua, Jokowi mengandalkan pendapatan dari program tax amnesty yang diharapkan mampu menambal lubang APBN. Ternyata hasilnya kurang memuaskan sehingga Jokowi kembali utang ke luar negeri dengan besaran hampir sama dengan tahun sebelumnya.

Bagaimana dengan 2017? Pemerintah kembali mengandalkan utangan. Alhasil sejak sejak berkuasa Oktober 2014 hingga Juli 2017 Jokowi sudah menambah utang negara sebesar Rp 1.040 triliun. Persoalan timbul ketika pemerintah mulai kesulitan menghimpun utang baru sementara tidak ada lagi subsidi yang bisa dicabut. Dana haji senilai lebih dari Rp 90 triliun yang selama mengendap di rekening pemerintah, lantas dilirik untuk menambal defisit APBN 2017!

Banyak pro-kotra terkait boleh tidaknya dana haji untuk membiayai proyek infrastruktur. Hasil ijtima ulama terkait hal ini masih multi tafsir. Pemerintah diperbolehkan memanfaatkannya (tasharruh) sepanjang terhindar dari maisir (spekulatif), ghahar (beresiko tinggi, riba (bunga uang yang melanggar muamalah dalam hukum Islam), dan lain-lain.

Jika tetap nekad menggunakan dana haji, meski legalitas terkait peruntukkannya debatable, pastinya akan semakin memburuk citra Jokowi di mata umat Islam. Alangkah baiknya jika Jokowi menunda penggunaan dana haji sambil mencari solusi lain yang tidak mengganggu investasi politiknya. Jangan sampai capaian pembangunan selama ini rusak hanya gara-gara dana haji.     

Menerima kritik, termasuk dari SBY, bukan kiamat. Sambil menyelesaikan beberapa proyek infrastruktur prioritas, Jokowi bisa menunda proyek lain yang terlalu ambisius dan menyerap anggaran sangat besar. Bongkar-pasang kabinet juga tidak efektif jika tujuannya hanya untuk mencari utangan baru. 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun