Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY Lupa Mengunci Pintu Belakang

11 Februari 2017   23:29 Diperbarui: 12 Februari 2017   09:09 7648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa dampaknya bagi SBY? Masyarakat yang tadinya simpati terhadap AHY, perlahan keluar lagi dari Cikeas karena takut di-habibrizieq-kan. Mereka buru-buru cuci tangan seperti yang dilakukan Tommy Soeharto ketika mensomasi Firza Husein karena tidak ingin nama Cendana dibawa-bawa dalam kasus makar. Inilah jawabannya mengapa jIka sebelum aksi 212 elektabilitas AHY begitu tinggi namuan pasca 212 hingga awal tahun, elektabilitasnya mulai menurun.

Kasus kedua terkait branding. Meski majunya AHY dalam Pilkada DKI atas dorongan orang tuanya, namun dengan cerdik SBY membiarkan anaknya bermain sendiri. SBY tidak mau tampil pada acara-acara anaknya untuk menghindari kesan AHY hanya boneka SBY. Sosok mandiri, tegas, smart sempat menjadi branding AHY. Mereka yang mengolok-olok AHY sebagai boneka SBY, tidak lebih banyak dari orang-orang yang meledek Jokowi sebagai boneka Megawati . Olok-olokan terhadap AHY lebih pada rencana programnya yang dinilai di awan-awan sehingga mustahil bisa direalisasikan manakala terpilih.

Perlahan simpati untuk paslon AHY –Sylvi mengalir. Tidak adanya noda hitam dalam karir AHY di militer, keluwesan istrinya, Anissa Pohan, dan intensitas blusukannya ke tengah pemukiman padat penduduk, membuat nama AHY melambung. Pemimpin muda yang smart, trengginas namun sayang keluarga dan luwes dalam berinteraksi dengan masyarakat, menjadi branding paslon nomor urut 1 ini.

Namun brand itu sontak rusak ketika debat pilkada dimulai. Penampilan AHY-Sylvi tidak sesuai dengan brand yang diciptakan. SBY justru membiarkan AHY tampil “beringas” dengan menyerang paslon lainnya. Sayangnya serangan itu mudah dipatahkan. Bahkan beberapa serangan Sylvi yang notabene orang Balai Kota, terkesan ngawur karena tidak disertai data. Gugatan soal pegawai penyandang disabilitas di Balai Kota adalah serangan paling fatal dan langsung menggerus kepercayaan publik terhadap bobot paslon ini. Branding AHY sebagai anaknya orang yang teraniaya, pupus ditimpa kegarangannya di atas panggung.

Ketiga, soal partai pendukung. Keberhasilan SBY meyakinkan PKB, PAN dan PPP untuk membangun koalisi mengusung paslon tanpa kader dari semua partai pengusung, hanya satu bukti kepiawaiannya dalam meracik isu politik. Terlebih jika mengingat ketiga partai di luar Demokrat merupakan partai pengusung pemerintah. Langkah SBY jelas menjegal Jokowi yang berharap partai-partai pendukung pemerintah yang tidak mau mengusung Ahok dengan alasan amanah massa pendukunganya yang menolak pemimpin non Muslim, mengusung Anies Baswedan, pun kandas.

SBY di atas angin. Dengan kepercayaan diri tinggi, SBY menjalin komunikasi dengan simpul-simpul Islam yang menjadi basis PPP, PKB dan PAN. Tokoh tokoh NU dan Muhammadiyah, termasuk organisasi sayap seperti Pemuda Muhammadiyah, Ansor dan lain-lain, secara terang-terangan maupun tersirat, memberikan dukungan kepada AHY-Sylvi.


Tetapi SBY terlalu percaya diri dengan strateginya sehingga abai terhadap kekuatan partai pendukung. AHY-Sylvi tampak sendirian dalam acara-acara yang membutuhkan dukungan moril dari para petinggi partai pengusung. Padahal kehadiran mereka dibutuhkan sebagai upaya meyakinkan massa di bawah jika partainya benar-benar serius mengusung AHY-Sylvi. Beberapa momen penting, seperti debat dan kampanye terbuka, dilewatkan tanpa kehadiran petinggi PPP, PKB dan PAN. Justru Ani Yudhoyono yang tampak mendominasi sehingga kesan AHY-Sylvi calon Cikeas lebih menonjol dibanding calon dari koalisi empat partai.

Upaya SBY untuk meraih kembali dukungan yang hilang dengan cara tampil all out pada last minute masa kampanye, tidak akan bisa mengembalikan dukungan yang hilang. Bahkan sekali pun SBY membuka front terbuka dengan Jokowi seperti yang dilakukannya usai belasan mahasiwa melakukan penggerudukan di kediaman pribadinya di kawasan Mega Kuningan. Upaya kader-kader Demokrat di DPR menggalang Hak Angket untuk menjatuhkan Presiden Jokowi dalam kasus dugaan penyadapan telepon SBY, dipastikan juga tidak akan menggerek elektabilitas AHY.

Dari paparan di atas, satu hal yang dilupakan SBY adalah mengunci pintu belakang sehingga dukungan yang semula sudah masuk, keluar lagi melalui pintu belakang. Mereka diam-diam meninggalkan SBY (baca: AHY) karenaSBY gagal memberikan garansi. Mereka melihat fakta politik jika pamor SBY sudah tidak sekuat dulu. Namun karena ewuh-pakewuh, mereka pun meninggalkannya melalui “pintu belakang”.

Andai saja SBY mampu menahan diri untuk tidak terlalu frontal dalam menghadapi Jokowi, sehingga para pengikutnya tidak “dikerjai”, mungkin ceritanya akan lain. Namun karena merasa masih kuat dan mampu mengalahkan strategi politik Jokowi, kini SBY harus mulai menghitung segala kemungkinan yang akan terjadi pasca Pilkada Jakarta. Menyiapkan AHY sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019 tentu sangat menggoda.  

salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun