Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY Lupa Mengunci Pintu Belakang

11 Februari 2017   23:29 Diperbarui: 12 Februari 2017   09:09 7648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat orasi di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (7/2/2017). SBY menyampaikan pidato politik dalam rangkaian Dies Natalies ke 15 partai Demokrat yang diawali Rapimnas. (KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Jangan pernah meremehkan strategi politik Susilo Bambang Yudhoyono. Memenangkan dua kali pemilihan presiden secara langsung adalah bukti sahih kecemerlangan strategi politik mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI sekaligus Ketua Fraksi ABRI di MPR ini. Tetapi mengapa SBY tampak kedodoran saat meracik strategi untuk kemenangan putra sulungnya di Pilkada DKi Jakarta? Rupanya SBY lupa mengunci pintu belakang sehingga massa yang sudah masuk ke rumah keluar dari pintu belakang!

Dalam kazanah politik tanah air, sampai dengan tanggal 23 September 2016, Mayor Infanteri Agus Harimurti Yudhoyono bukanlah siapa-siapa. Setelah sang ayah memutuskan untuk mengirim ke medan tempur politik bertajuk Pilgub DKI 2017, perlahan nama AHY- demikian pendukungnya menyapa Agus Harimurti, mewarnai blantika politik tanah air. Sosoknya yang cool, smart dengan bukti sederet prestasi akademik, dan gaul layaknya anak muda masa kini, menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih Jakarta yang jenuh dengan gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang kaku dan suka memancing kontroversi.

Dalam waktu sekejap, AHY, yang berpasangan dengan mantan None Jakarta Sylviana Murni, berhasil merebut perhatian masyarakat Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari hasil survei sejumlah lembaga yang dirilis antara bulan Oktober sampai dengan Desember 2016. Jika saja PIlgub DKI digelar di awal Desember, kemungkinan besar pasangan calon (paslon) AHY-Mpok Sylvi akan melenggang ke putaran kedua mendampingi Ahok-Djarot.

Tetapi konstelasi politik mulai berubah menjelang pergantian tahun. Paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno perlahan mengeliat. Bagaimana cara pasangan akademisi-pengusaha ini menambah pundi-pundi dukungan?

Anies-Sandi sadar sangat sulit untuk “membongkar” loyalis Ahok-Djarot. Doktrin yang tertanam dalam benak pendukung Ahok-Djarot, selain kesamaan sejumlah faktor, menjadi alat ikat yang tidak mudah putus apalagi hanya dengan janji-janji yang saat ini pun mereka sudah miliki seperti kemudahan mendapatkan rumah, modal usaha melalui program andalan One Kecamatan One Center for Entrepreneurship dan lainnya.  

Dengan fakta itu, Anies Sandi lebih suka menyasar kelompok yang belum menentukan pilihan sehingga lebih mudah “dibentuk”. Kepiawaian Anies membumikan rencana program kerjanya sehingga bisa dipahami oleh masyarakat menengah ke bawah, menjadi starting point lonjakan elektabilitas pasangan yang diusung Gerindra-PKS ini. Kesan elitis pasangan ini juga perlahan cair setelah dilakukan sejumlah langkah strategis seperti penonjolan karakter Anies yang lugas, tidak anti budaya, dan memiliki rekam jejak sebagai wong Jowo sehingga pemilih bersuku Jawa yang masih terperangkap dalam stigma primordial : piye-piye pilih wonge dewe, berhasil dimasuki dengan cara yang elegan.

Hasilnya, sejumlah hasil survei yang dirilis antara Januari-Februari menempatkan paslon Anies-Sandi di urutan kedua dengan margin yang tidak terlalu jauh dengan paslon nomor urut 2, Ahok-Djarot. Jika rerata elektabilitas Ahok-Djarot 33-39 persen, maka elektabilitas Anies-Sandi di kisaran 28-33 persen.

Menarik dicermati, mengapa elektabilitas paslon nomor urut 1 AHY-Sylvi justru mengalami tren penurunan. Apakah SBY salah strategi? Mari kita lihat kasus per kasus.

Pertama, politisasi Islam. Sejak mencuatnya kasus dugaan penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahok, terjadi kristalisasi sentimen keagamaan. Jika sebelumnya umat Islam yang memusuhi Ahok hanya dari kelompok FPI, Hizbut Tahrir dan sejumlah ormas Islam puritan lainnya, maka setelah mencuatnya kasus penistaan agama, “musuh” Ahok bertambah dengan ikut bergabungnya kelompok Islam moderat ke barisan kelompok pertama. Tidak sedikit warga NU dan Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam aksi Bela Islam yang berpuncak pada aksi 212. Bahkan ulama-ulama kharismatik yang selama ini enggan bersinggungan dengan politik, ikut memberikan dukungan. Mereka menanggalkan ego mazhab, organisasi dan partai karena sadar Ahok didukung kekuatan besar baik politik maupun financial. Terbukti kemudian, aksi Bela Islam gagal total setelah Ahok mulai hari ini kembali ngantor di Balaikota sementara beberapa pentolan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI justru menjadi tersangka kasus pidana di sejumlah Polda.

SBY berhasil masuk ke dalam isu tersebut dan mendapat simpati tersendiri dari masyarakat. Sikap Presiden Joko Widodo yang dengan “sengaja” mengucilkannya dalam safari politik, menimbulkan simpati. Melalui media sosial, terutama Twitter, SBY panen dukungan. Tweet-nya yang selalu mengesankan dirinya diperlakukan tidak adil oleh Istana, ditunggu dan dibagikan secara masif oleh pengikutnya sehingga ikut mempengaruhi elektabilitas AHY. Umat Islam yang geram dengan sikap pemerintah (baca: Jokowi) yang dianggap tidak netral dalam Pilkada DKI, dengan suka rela berlabuh ke Cikeas.

Dalam kasus ini, strategi SBY terbukti berhasil. Namun SBY kemudian melakukan bunder fatal ketika dengan sengaja memancing amarah Jokowi, melalui statemen-statemen yang vulgar. Salah satu pernyataan vulgar SBY yang sempat menjadi trending topic adalah frasa lebaran kuda terkait kegagalan pemerintah dalam menangani sejumlah aksi demo. Jokowi pun membalas dengan tidak menyelesaikan akar masalah (baca: tuntutan pendemo) tetapi justru “menghabisi” para penuntutnya. Menjelang aksi 212, sejumlah pentolan demo- meski tidak terkait langsung dengan aksi Bela Islam, ditangkap dengan tuduhan makar. Tidak lama setelah itu, polisi bergerak cepat dalam memproses “laporan masyarakat” yang ditujukan untuk para pentolan GNPF MUI dan hasilnya seperti yang sudah ditulis di atas.

Apa dampaknya bagi SBY? Masyarakat yang tadinya simpati terhadap AHY, perlahan keluar lagi dari Cikeas karena takut di-habibrizieq-kan. Mereka buru-buru cuci tangan seperti yang dilakukan Tommy Soeharto ketika mensomasi Firza Husein karena tidak ingin nama Cendana dibawa-bawa dalam kasus makar. Inilah jawabannya mengapa jIka sebelum aksi 212 elektabilitas AHY begitu tinggi namuan pasca 212 hingga awal tahun, elektabilitasnya mulai menurun.

Kasus kedua terkait branding. Meski majunya AHY dalam Pilkada DKI atas dorongan orang tuanya, namun dengan cerdik SBY membiarkan anaknya bermain sendiri. SBY tidak mau tampil pada acara-acara anaknya untuk menghindari kesan AHY hanya boneka SBY. Sosok mandiri, tegas, smart sempat menjadi branding AHY. Mereka yang mengolok-olok AHY sebagai boneka SBY, tidak lebih banyak dari orang-orang yang meledek Jokowi sebagai boneka Megawati . Olok-olokan terhadap AHY lebih pada rencana programnya yang dinilai di awan-awan sehingga mustahil bisa direalisasikan manakala terpilih.

Perlahan simpati untuk paslon AHY –Sylvi mengalir. Tidak adanya noda hitam dalam karir AHY di militer, keluwesan istrinya, Anissa Pohan, dan intensitas blusukannya ke tengah pemukiman padat penduduk, membuat nama AHY melambung. Pemimpin muda yang smart, trengginas namun sayang keluarga dan luwes dalam berinteraksi dengan masyarakat, menjadi branding paslon nomor urut 1 ini.

Namun brand itu sontak rusak ketika debat pilkada dimulai. Penampilan AHY-Sylvi tidak sesuai dengan brand yang diciptakan. SBY justru membiarkan AHY tampil “beringas” dengan menyerang paslon lainnya. Sayangnya serangan itu mudah dipatahkan. Bahkan beberapa serangan Sylvi yang notabene orang Balai Kota, terkesan ngawur karena tidak disertai data. Gugatan soal pegawai penyandang disabilitas di Balai Kota adalah serangan paling fatal dan langsung menggerus kepercayaan publik terhadap bobot paslon ini. Branding AHY sebagai anaknya orang yang teraniaya, pupus ditimpa kegarangannya di atas panggung.

Ketiga, soal partai pendukung. Keberhasilan SBY meyakinkan PKB, PAN dan PPP untuk membangun koalisi mengusung paslon tanpa kader dari semua partai pengusung, hanya satu bukti kepiawaiannya dalam meracik isu politik. Terlebih jika mengingat ketiga partai di luar Demokrat merupakan partai pengusung pemerintah. Langkah SBY jelas menjegal Jokowi yang berharap partai-partai pendukung pemerintah yang tidak mau mengusung Ahok dengan alasan amanah massa pendukunganya yang menolak pemimpin non Muslim, mengusung Anies Baswedan, pun kandas.

SBY di atas angin. Dengan kepercayaan diri tinggi, SBY menjalin komunikasi dengan simpul-simpul Islam yang menjadi basis PPP, PKB dan PAN. Tokoh tokoh NU dan Muhammadiyah, termasuk organisasi sayap seperti Pemuda Muhammadiyah, Ansor dan lain-lain, secara terang-terangan maupun tersirat, memberikan dukungan kepada AHY-Sylvi.

Tetapi SBY terlalu percaya diri dengan strateginya sehingga abai terhadap kekuatan partai pendukung. AHY-Sylvi tampak sendirian dalam acara-acara yang membutuhkan dukungan moril dari para petinggi partai pengusung. Padahal kehadiran mereka dibutuhkan sebagai upaya meyakinkan massa di bawah jika partainya benar-benar serius mengusung AHY-Sylvi. Beberapa momen penting, seperti debat dan kampanye terbuka, dilewatkan tanpa kehadiran petinggi PPP, PKB dan PAN. Justru Ani Yudhoyono yang tampak mendominasi sehingga kesan AHY-Sylvi calon Cikeas lebih menonjol dibanding calon dari koalisi empat partai.

Upaya SBY untuk meraih kembali dukungan yang hilang dengan cara tampil all out pada last minute masa kampanye, tidak akan bisa mengembalikan dukungan yang hilang. Bahkan sekali pun SBY membuka front terbuka dengan Jokowi seperti yang dilakukannya usai belasan mahasiwa melakukan penggerudukan di kediaman pribadinya di kawasan Mega Kuningan. Upaya kader-kader Demokrat di DPR menggalang Hak Angket untuk menjatuhkan Presiden Jokowi dalam kasus dugaan penyadapan telepon SBY, dipastikan juga tidak akan menggerek elektabilitas AHY.

Dari paparan di atas, satu hal yang dilupakan SBY adalah mengunci pintu belakang sehingga dukungan yang semula sudah masuk, keluar lagi melalui pintu belakang. Mereka diam-diam meninggalkan SBY (baca: AHY) karenaSBY gagal memberikan garansi. Mereka melihat fakta politik jika pamor SBY sudah tidak sekuat dulu. Namun karena ewuh-pakewuh, mereka pun meninggalkannya melalui “pintu belakang”.

Andai saja SBY mampu menahan diri untuk tidak terlalu frontal dalam menghadapi Jokowi, sehingga para pengikutnya tidak “dikerjai”, mungkin ceritanya akan lain. Namun karena merasa masih kuat dan mampu mengalahkan strategi politik Jokowi, kini SBY harus mulai menghitung segala kemungkinan yang akan terjadi pasca Pilkada Jakarta. Menyiapkan AHY sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019 tentu sangat menggoda.  

salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun