"Having children showed me a whole different kind of love that I had never known. It was something that had always been missing. Complete love. I would die for them" -Scott Weiland-
Kehadiran seorang anak di tengah-tengah kehidupan pernikahan tentu merupakan karunia luar biasa dan tak terbantahkan yang berasal dari Tuhan. Kehadiran anak juga dianggap sebagai pelengkap dan pembawa sukacita baru dalam setiap keluarga kecil.
Itulah sebabnya, banyak pasangan suami istri diseluruh dunia begitu mempersiapkan dengan baik kehadiran sang buah hati dengan melakukan pola hidup sehat, cek kesehatan rutin hingga melakukan hubungan seksual yang rutin dan terjadwal. Semua itu dilakukan demi terjaganya kesuburan pasangan suami istri dan sang anak diharapkan bisa lahir ke dunia dengan sehat dan dalam kondisi sempurna.
Tapi apa jadinya jika pasangan suami istri mengalami masalah dalam kesuburannya? Tentu saja tetap berjuang demi mendapatkan seorang anak yang diidam-idamkan, meskipun harus melewati proses yang lebih sulit, panjang dan melelahkan. Bahkan tak jarang, usaha-usaha tersebut justru berakhir dengan depresi dan yang terburuk adalah terjadinya pertengkaran hebat dalam rumah tangga yang menyebabkan hubungan suami istri berada di ujung tanduk.
Problem itulah yang kemudian diangkat dalam film drama berjudul Private Life ini. Film yang ditulis dan disutradarai oleh sutradara wanita Tamara Jenkins ini, menjadi film terbarunya setelah film terakhirnya berjudul Savages -yang tak kalah inspiratifnya- dibuat 11 tahun yang lalu.
Bagi saya pribadi, film ini juga menjadi salah satu film drama romantis atau drama kehidupan favorit hingga saat ini. Dan sempat juga saya mention pada tulisan sebelumnya mengenai list acara Netflix wajib tonton. So tak perlu berlama-lama, berikut poin-poin pembahasannya.
Sinopsis
Mereka berdua adalah pasangan suami istri usia 40 tahunan yang sedang menjalani terapi IVF(In Vitro Fertilisation). Terapi yang juga sejatinya membuat mereka tak berhubungan seksual dalam waktu yang cukup lama. Namun semua hal tersebut rela dipinggirkan demi mendapat kesuburan maksimal yang diinginkan.
Tantangan bagi mereka kemudian muncul ketika setiap usaha yang mereka lakukan selalu berbuah kegagalan. Tak hanya terapi, bahkan usaha lainnya seperti mengadopsi anak dan program bayi tabung pun selalu gagal.
Haruskah usaha mereka menjadi orang tua lantas mengorbankan banyak hal dalam hidup mereka? Lantas, mana yang lebih penting antara mempertahankan cinta dan kehidupan pernikahan mereka atau usaha yang ambisius dalam menghadirkan anak di tengah-tengah mereka?
Film Drama yang Begitu Natural dan Hangat
Apa yang ditampilkan dalam film Private Life ini begitu sederhana namun mengena dan cukup personal bagi beberapa orang yang mengalami problematika yang sama. Lucu dan hangat merupakan dua kata yang cukup menggambarkan film ini secara keseluruhan.
Begitupun dengan konflik eksternal yang berasal dari keluarga misalnya. Pertanyaan seputar perawatan kesuburan yang sedang mereka jalani kadang membuat mereka jengah, atau ketidakrelaan salah satu anggota keluarga dalam meminjamkan uang untuk menutupi sementara biaya perawatan mereka, merupakan beberapa contoh konflik yang terasa begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Bahkan Tamara Jenkins dengan cerdasnya mampu membuat sebuah situasi tampak begitu nyata hingga kita seakan turut merasakannya. Seperti adegan di klinik perawatan kesuburan misalnya.Â
Kita bisa melihat setiap pasien yang menunggu duduk lesu dengan tatapan kosong seakan lelah dalam mengikuti setiap program kesuburan ini meskipun memang harus mereka lakukan. Detail pada hal-hal sederhana seperti itulah yang jelas membuat film ini memberikan dimensi berbeda hingga kita ikut mampu merasakan setiap tekanan emosional yang ada.
Akting Jempolan Paul Giamatti dan Kathryn Hahn
Paul Giamatti mampu menampilkan sosok suami yang penyabar, penyayang dan bijaksana dalam menyikapi setiap keputusan bersama sang istri. Sementara Kathryn Hahn mampu menampilkan sosok istri yang emosional, terlihat lelah dan kadang tidak rasional dalam menyikapi segala hal yang berhubungan dengan usahanya mendapatkan anak. Pribadi yang bertolak belakang itulah yang semakin membuat penampilan mereka sebagai suami istri tampak begitu meyakinkan dan relate dengan hubungan suami istri di kehidupan nyata.
Kita juga bisa melihat perkembangan yang cukup signifikan dari karakter suami istri ini sejak awal hingga akhir film ini. Dari yang begitu excited mengikuti program kesuburan, kemudian lelah, hingga semangat lagi dan begitu seterusnya pola mereka dalam usaha mencoba dan berharap akan kehadiran anak di tengah-tengah mereka.
Perjuangan Mempertahankan Cinta di Tengah Problem Infertilitas
Karakter Richard dan Rachel jelas mengajarkan kita bahwa ambisi berlebihan dalam menghadirkan seorang anak ke dalam keluarga justru bisa berakibat fatal dalam sebuah hubungan pernikahan. Tak jarang ambisi yang berlebihan tersebut justru membawa kita ke dalam kondisi sulit yang berujung pada depresi dan berkurangnya rasa sayang terhadap pasangan. Fokus kita yang tak lagi kepada pasangan pun membuat kita lupa akan nilai-nilai suami istri yang seharusnya dibangun dan terus dipertahankan hingga maut memisahkan.
Tak salah memang berusaha dan memiliki ambisi lebih dalam menghadirkan anak di tengah-tengah keluarga kecil kita. Apalagi bagi yang sudah bertahun-tahun menjalani pernikahan namun belum juga dikaruniai seorang anak, pasti akan merasakan konflik personal yang sama dengan apa yang dirasakan Richard dan Rachel.
Film ini justru bertanya balik kepada kita mengenai apa yang kita lakukan jika ada di posisi Richard dan Rachel. Dimana kegagalan demi kegagalan selalu terjadi, tak peduli seberapa besar usaha yang telah mereka jalani.
Akankah kita bertindak seperti Richard yang sabar namun tetap berusaha semampunya, atau justru seperti Rachel yang cenderung emosional, tidak stabil dan terlalu memaksakan kehendak hingga terkadang mengabaikan cinta dan kasih sayang yang seharusnya diberikan porsi terbaik bagi suaminya? Well, tentu saja hanya pribadi masing-masing yang bisa menjawabnya.
Penutup
Apalagi bagi yang ingin menghabiskan momen valentine bersama pasangan di rumah, maka menyaksikan film ini di platform Netflix sembari menikmati hidangan spesial di ruang keluarga atau sembari bersantai di kamar tidur tentu menjadi momen yang menyenangkan.Â
Banyaknya humor, pesan cinta bahkan momen haru di sepanjang film, tentu menjadikan film ini begitu spesial untuk dinikmati di hari penuh cinta ini. Apalagi bagi pasangan yang sedang merindukan kehadiran sang buah hati, tentu akan mendapatkan banyak pelajaran dan sudut pandang baru melalui film ini.
Pada akhirnya, film ini juga bisa menjadi sarana refleksi akan hubungan suatu pernikahan. Tak hanya soal ambisi memiliki anak seperti yang ditampilkan dalam film ini, ambisi terhadap hal lainnya seperti karir pun sejatinya bisa menjadi pelajaran.Â
Sudahkah kita terlebih dahulu memberi kasih sayang dan cinta yang penuh kepada pasangan kita sebelum semua hal tersebut "terbagi" kepada setiap ambisi berlebihan yang mungkin muncul dalam diri kita? Lantas bagaimana jika ambisi tersebut tetap menemui kegagalan? Masih bisa kah kita memberikan porsi cinta dan kasih sayang yang terbaik bagi pasangan, atau justru menyalahkannya akan segala hal yang berjalan tidak sesuai rencana?
Selamat menonton dan happy valentine. Salam kompasiana.