Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Roma", Cinta dan Tragedi dalam Monokrom Hitam Putih

16 Desember 2018   16:27 Diperbarui: 18 Desember 2018   03:23 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film ini juga sangat dominan menggunakan teknik pengambilan gambar melebar juga statis. Tak heran jika kemudian gambar terlihat sangat indah walaupun hanya menggunakan warna monokrom. Sangat artistik dan penuh makna mendalam.

Comingsoon.net
Comingsoon.net
Penggunaan warna hitam putih juga efektif untuk membuat kita terfokus dengan tokoh dan penceritaan dalam filmnya alih-alih terdistorsi oleh spektrum warna lain di sekelilingnya. 

Layaknya kita yang seakan ikut larut dalam sebuah persidangan berbau rasis dalam film hitam putih To Kill a Mockingbird atau ikut menikmati suasana kota klasik dalam hitam putih ala broadway dalam The Artist, penggunaan warna hitam putih pada Roma memang "memaksa" kita untuk lebih fokus dalam setiap detail kehidupan Cleo layaknya kita menikmati setiap detail pada dua film hitam putih tersebut.

Pada dasarnya film ini berjalan dengan tempo lambat. Cuaron nampak sengaja menjaga temponya seperti itu agar kita bisa mendalami jalinan kisah dan sisi emosional karakternya dengan dalam. Dan meskipun ini merupakan film drama, namun aspek dramanya terasa sangat natural dan tidak didramatisir secara berlebihan.

Roma dan Kekuatan Wanita

nytimes.com
nytimes.com
Isu kesetaraan gender memang masih menjadi isu yang hangat untuk diangkat ke dalam sebuah film. Setelah beberapa waktu lalu Widows muncul dengan kampanye girl power-nya dalam penceritaan para janda perampok (baca disini), Roma hadir dengan isu yang hampir sama namun dengan penceritaan yang lebih relevan dan dekat dengan keseharian.

Tak hanya Cleo yang menarasikan perlawanan terhadap stereotip negatif kehidupan seorang asisten rumah tangga yang sering dimanfaatkan oleh lelaki, Sofia sang majikan pun berjuang untuk mendapatkan keadilan sebagai seorang istri yang juga mendapat ketidakjelasan status dari suaminya. Bila dirangkum, 70 menit awal film akan mengisahkan konflik dan penolakan diri sendiri terhadap kondisi yang berubah 180 derajat. 

Sementara di sisa 50 menit akhir, mengisahkan mereka yang harus melewati fase "kematian" hingga akhirnya bisa menerima kondisi diri untuk selanjutnya melanjutkan hidup yang memang harus terus berjalan.

Latar pertikaian antara mahasiswa dengan polisi di depan toko perlengkapan bayi yang kemudian dikenal dengan tragedi Corpus Christo Massacre, menjadi titik balik yang cukup klimaks untuk memulai fase baru kisah Cleo dan Sofia dalam proses menerima jalan hidupnya.

Betapa Roma Berhasil Mempermalukan Studio Besar Hollywood

slashfilm.com
slashfilm.com
Roma memang bukan tipikal film yang dibuat untuk bisa dinikmati banyak orang. Filmnya yang bertutur dengan jujur, menggunakan warna monokrom juga tanpa visual efek yang bombastis, menjadi sebab kenapa Roma konon ditolak dan tidak dilirik oleh hampir semua studio besar Hollywood. Mereka nampaknya "belajar" dari kegagalan komersil Children of Men, sehingga tidak mau berjudi lagi hanya demi film hasil idealisme Alfonso Cuaron. 

Netflix pun kemudian menerimanya dengan sepenuh hati dan tentunya membuat Roma menjelma menjadi film Netflix Original terbaik hingga saat ini. Lebih dari itu, Roma pun akhirnya melesat dengan turut dinominasikan dalam 3 kategori pada ajang Golden Globe 2019 yaitu Best Screenplay, Best Director dan Best Motion Picture. Bahkan film ini diprediksi akan melesat untuk masuk ke kategori pamungkas di Oscar 2019 yaitu Best Picture berkat banyaknya kritik positif dari para audiens dan kritikus film.

Beasts of No Nation(screenertv.com)
Beasts of No Nation(screenertv.com)
Sebenarnya di 2015 lalu, film produksi Netflix berjudul Beasts of No Nation hampir saja menembus kategori Best Picture di ajang Oscar. Namun film yang mengisahkan realita penggunaan anak-anak sebagai tentara pemberontak ini dinilai terlalu sadis dan berdarah untuk bisa menerima Best Picture. Maka Roma yang tampil lebih hangat dan artistik, rasanya bisa menjadi potensi baru bagi Netflix untuk menerima penghargaan bergengsi ini.

Tentunya hal ini akan menampar studio besar Hollywood jika kelak Roma bisa masuk ke kategori tersebut bahkan memenangkannya. Penolakan Roma oleh berbagai studio besar Hollywood juga menjadi bukti bahwa industri Hollywood mengalami pergeseran fungsi. Dari industri yang seharusnya memeluk semua jenis karya perfilman menjadi industri yang hanya mementingkan sisi komersil sebuah film.

Penutup

Indiewire.com
Indiewire.com
Roma jelas menjadi film yang begitu hangat hingga kita bisa turut merasakan setiap konflik yang terjadi di sepanjang film. Konflik yang terbentuk begitu natural, sederhana dan tampak layaknya konflik yang terjadi dalam keseharian kita. Hanya saja, penuturan yang dibangun Cuaron mampu disampaikan dengan begitu elegan hingga memberikan pengalaman menonton secara utuh hingga menghasilkan after taste yang terus diingat begitu selesai menyaksikannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun