Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasi Liwet, Doa dan Cerita Kehangatan Keluarga

15 Maret 2018   00:34 Diperbarui: 15 Maret 2018   01:04 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membayangkan hidup tanpa keluarga rasanya amatlah sulit. Keluarga merupakan instrumen hidup paling penting yang kita miliki. Bahkan,tidak ada tempat belajar dan berbagi cerita sebaik keluarga sendiri. Keluarga juga berperan sebagai penopang saat kita terjatuh, penghibur saat kita terluka dan motivator utama dalam setiap hal-hal baik yang kita lakukan. 

Dan tanpa disadari, kehangatan keluarga seperti itulah yang sebenarnya selalu kita butuhkan untuk bisa menjalani hari-hari dengan semangat dan penuh harapan. 

Namun layaknya api yang tidak mungkin muncul sendiri tanpa adanya pemantik, kehangatan keluarga pun tidak akan mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada kegiatan khusus atau spesial yang biasanya dilakukan bersama-sama. Kegiatan yang akan selalu diingat dan dinanti untuk terulang kembali. Tentu saja setiap keluarga memiliki caranya sendiri untuk menciptakan kegiatan tersebut, termasuk keluarga saya.

Pada dasarnya apa yang ibu dan bapak saya lakukan untuk menciptakan kehangatan dan kondisi yang ngangenidalam keluarga tergolong biasa-biasa saja. Ibu yang dikaruniai sepasang tangan emas, sangat piawai dalam memasak berbagai masakan khas nusantara. Bahkan bukan hanya tangan, beliau juga dikaruniai lidah yang sangat peka terhadap berbagai jenis bumbu yang ada dalam suatu masakan. 

Cukup mencicipi sedikit suatu masakan, beliau dengan cepat menamai bumbu-bumbu yang terkandung dalam masakan tersebut. Jelas sudah cara ibu dan bapak mengikat anak-anaknya untuk selalu terhubung adalah lewat makanan, lewat branding"masakan ibu".

Saya teringat bagaimana tersiksanya saya ketika ditugaskan oleh perusahaan untuk bekerja di kantor cabang Bandung. Bukan karena Bandung jauh dari Jakarta, bukan juga karena harus menjalani proses adaptasi dengan lingkungan yang baru, namun saya benar-benar tersiksa karena tidak bisa menyantap masakan ibu dengan bebas. Praktis, hanya sabtu dan minggu waktu yang saya punya untuk bisa menyantap masakan ibu dengan puas.

Tak hanya saya, kakak-kakak saya yang sudah lebih dulu merasakan hidup di luar kota pun juga mengalami ketersiksaan yang sama, tidak bisa menyantap masakan ibu. Untuk itu, brandingyang ibu lakukan lewat masakannya pun kami anggap sangat sukses. Membuat kami teringat terus akan rumah,masakan dan kehangatan keluarga yang menaunginya. Keluarga menjadi alasan bagi kami untuk pulang.

Nasi Liwet dan Doa

Namun dari semua masakan yang pernah ibu buat, ada satu masakan yang menjadi ciri khas keluarga kami. Menjadi masakan yang sangat spesial dan ngangenikarena hanya dihidangkan ketika ada anggota keluarga yang berulang tahun. 

Ya, ibu selalu memasak nasi liwet dengan menu sangat sederhana. Nasi liwet yang disajikan ibu bukanlah nasi liwet dengan aneka toppingseperti yang saat ini sedang tren, ataupun nasi liwet khas solo yang disajikan dengan areh (semacam bubur gurih dari kelapa), namun hanya berupa nasi dan potongan ayam yang di liwet (dimasak dengan kelapa,sehingga menjadi gurih), kemudian ditemani dengan sambal goreng udang dan kering tempe. Bisa dibilang nasi liwet versi ibu merupakan nasi liwet "kering", karena tidak ada areh nya.

Masakan ini jelas kami tunggu karena merupakan masakan spesial yang hanya dimasak di momen ulang tahun. Biasanya ibu menghidangkan nasi liwet dan potongan-potongan ayam pada tetampah yang cukup besar dan diletakkan di lantai. Kami kemudian duduk lesehan dan melingkari tetampah itu. Disitu tangan kami semua bercampur dan beradu mengambil potongan-potongan ayam dan nasi untuk dipindahkan ke piring kami masing-masing, sebelum kami menambahkan lauk lainnya ke dalam piring kami masing-masing. 

Gelak tawa dan canda tercipta manakala salah satu dari kami kehabisan potongan ayam yang besar dan hanya mendapatkan potongan yang kecil. Dan disini biasanya ibu menunjukkan pengorbanannya dengan menukar potongan ayam miliknya dengan milik kami , manakala beliau mendapatkan potongan yang lebih besar. Dari makan bersama itu juga tercipta berbagai cerita nostalgia dari masing-masing anggota keluarga bahkan tak jarang juga cerita-cerita baru yang belum pernah kami dengar sebelumnya.

Setelah puas makan, baru lah kami semua memulai "ritual" berikutnya yaitu doa bersama. Biasanya kami melakukannya dengan saling bergandengan tangan atau membentuk lingkaran. Bapak yang biasanya memimpin doa, dan ditahun-tahun berikutnya ketika beliau sudah tiada, pemimpin doa diambil alih oleh kakak pertama. 

Disitu kami bersama-sama memanjatkan doa yang menjadi kerinduan ataupun pergumulan masing-masing anggota keluarga. Karena kami yakin, doa yang dipanjatkan dengan satu hati oleh setiap anggota keluarga sangatlah besar kuasanya.

Dua "ritual" utama yang selalu kami lakukan ketika momen ulang tahun ini memang dicetuskan pertama kali oleh almarhum bapak. Bapak pada saat itu ingin menciptakan situasi yang ngangenidengan konsep sesederhana mungkin. Bahkan tak hanya soal ngangeni, pada perkembangannya kegiatan kami yang sederhana ini justru melahirkan banyak pelajaran kehidupan bagi kami. Banyak hal yang bapak ajarkan melalui kegiatan ini, yang tentunya saya rangkum sebagai berikut ;

Less Presents, More Presence

Bapak tentu saja ingin mengajarkan bahwa ulang tahun bukanlah soal seberapa besar atau bagusnya kado yang kita berikan, namun seberapa besar kasih kita terhadap keluarga bahkan teman pada hari-hari penting seperti ulang tahun ini. Hal ini jelas terlihat ketika beliau selalu berkata seperti ini:

"Poko'e kita semua ngumpul pas dulurmu ulang tahun, jangan ada yang ngluyur. Ora usah nggowo kado, sing penting kumpul".Kado tentu saja berguna dan menyenangkan, apalagi jika salah satu anggota keluarga kita memang sedang membutuhkan, namun tetap kehadiran menjadi prioritas utama untuk menciptakan kehangatan keluarga. Dan hal itulah yang selalu ditekankan oleh bapak pada saat itu.

Kesederhanaan adalah Kemewahan Sesungguhnya

Dengan karir bapak pada saat itu yang bisa dibilang cukup bagus, rasanya untuk sekedar makan-makan di restoran bukanlah perkara yang sulit. Tapi tentu saja bapak tidak mau seperti itu. Beliau ingin mengajarkan kepada kami bahwa kemewahan sesungguhnya adalah melalui kesederhaan itu sendiri. Mengajarkan bahwa hidup mewah bukanlah sebuah keharusan dan kebutuhan. Justru berbagai pelajaran hidup yang muncul dari kesederhanaan itulah yang akan terus diingat bahkan akan kami bawa ke anak cucu kami kelak.

Keluarga Harus Saling Berkorban

Apa yang ditunjukkan ibu kepada kami ketika beliau menukar potongan ayamnya dengan potongan yang lebih kecil agar bisa dinikmati kami, tak lain bahwa ibu ingin mengajari kami makna pengorbanan antar anggota keluarga. Tak harus melalui cara yang besar dan heroik, semuanya bisa dimulai dari hal yang paling sederhana. Dan jika sudah mulai terbiasa dengan anggota keluarga di rumah, pastinya sikap mau berkorban juga akan muncul di kehidupan bermasyarakat kita.

Keluarga Sebagai Tiang Doa Utama

Pada akhirnya tidak ada yang lebih penting bagi hidup kita selain doa dari tiap anggota keluarga. Doa sangatlah penting bagi setiap aspek kehidupan yang kita jalani. Tentu hidup kita akan jauh lebih tenang, diberkati dan selalu dituntun ke jalan yang terbaik apabila ada doa dari orang-orang terkasih yang selalu menaungi setiap langkah hidup kita. Dan hal ini lah yang dibangun sedari awal oleh keluarga kami yaitu keluarga sebagai tiang doa utama.

Itulah sedikit cerita kehangatan keluarga kami. Dibalik lezatnya nasi liwet yang dihidangkan, terdapat banyak wejangan dan pelajaran hidup yang diajarkan bapak dan ibu.

Tentunya banyak hal lainnya juga yang membuat keluarga kami tetap hangat dan harmonis sampai saat ini, namun tetap saja dua ritual tersebut yaitu ritual menyantap nasi liwet dan doa bersama ketika ulang tahun akan terus menjadi ciri khas keluarga kami yang akan selalu kami ingat dan pertahankan sampai kelak muncul anak cucu kami. 

Pelajaran yang bapak tanamkan sejak kami masih kecil melalui kegiatan sederhana tersebut, menjadi bekal yang berguna bagi kami dalam menjalani kehidupan sesungguhnya. Kami tak akan pernah lupa akan wejangan-wejangan yang disampaikan dengan berkharisma oleh bapak atau sikap ibu yang penuh kasih dan sabar dalam mendengarkan dan meresponi cerita kami saat santap bersama tersebut. Semua hal tersebut membentuk pribadi kami masing-masing menjadi lebih baik.

Pada akhirnya, apapun caranya dan bagaimana bentuk kegiatannya, momen bersama keluarga pastilah menjadi momen paling membahagiakan dalam hidup kita masing-masing. 

Salam kompasiana !

 *Tulisan ini didedikasikan untuk kakak, ibu dan almarhum bapak. Sedianya bapak tersenyum diatas sana ketika melihat cerita ini ditulis. Terimakasih buat semuanya, pak.J

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun